Sisi Lain Metropolitan
Kerasnya Kehidupan Pedagang 'Starling' yang Melegenda di Kawasan Elit Jakarta, Ini Secuil Ceritanya
Kerasnya kehidupan para pedagang Starbuck Keliling alias Starling yang keberadaanya begitu melegenda di jalanan elit Jakarta.
Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Yogi Jakarta
TRIBUNJAKARTA.COM, SENEN - Kerasnya kehidupan para pedagang Starbuck Keliling alias Starling yang keberadaanya begitu melegenda di jalanan elit Jakarta.
Bagi masyarakat Jakarta, terutama yang berada di kawasan elit ibu kota tentu tak asing dengan istilah Starling.
Itu adalah sebutan untuk para pedagang kopi keliling yang menjajakan dagangannya menggunakan sepeda.
Keberadaan para pedagang starling hampir bisa ditemui selama 24 jam nonstop di sejumlah ruas jalan ibu kota.
Yang paling banyak terlihat keberadaan starling biasanya di sekitar Monas sampai ke kawasan Bundaran HI.
Baca juga: Cerita Slamet, Pedagang Starling Senen: Dari Jual Rp 700 Perak per Gelas dan Pernah Ditusuk Pengamen
Rupanya mereka ini kebanyakan berasal dari Madura.
Di Jakarta mereka biasanya tinggal dalam satu lingkungan yang sama di wilayah Senen, Jakarta Pusat.
Bahkan saking banyaknya pedagang starling yang tinggal di sana, wilayah mereka tinggal disebut Kampung Starling.

Di Kampung Starling, tak semua pedagang berangkat pagi dan pulang sore hari.
Mereka ada yang berangkat menjelang sore membelah jalanan Ibu kota sampai subuh baru pulang ke Kampung Starling.
Salah satunya, Slamet (43). Pria asal Sampang, Madura itu lebih suka dagang sore hingga malam hari.
Ia tak jarang melewatkan momen panen rezeki seperti saat demonstrasi atau kegiatan besar lainnya di pusat kota.
Namun, Slamet tak terlalu memikirkannya.
Karena itu juga lah, Slamet pernah diomeli istrinya lantaran tak memanfaatkan momen itu untuk mencari nafkah.
Baca juga: Melihat dari Dekat Aktivitas di Kampung Starling, Pedagang Kopi Keliling yang Menghiasi Ibu Kota
"Kalau ada acara siang kan saya dagang malam. Jadi ada acara apa enggak tahu. Istri suka marah, kamu tidur melulu ini ada acara di KPU. Karena capek, jadi enggak didengerin sama saya," ceritanya saat ditemui TribunJakarta.com di kampung starling, Senen pada Kamis (23/9/2021).
Kendati demikian, ia mengaku masih bisa meraup untung lumayan sebagai pedagang starling yang berdagang di malam hari.
Barangkali karena sudah punya banyak pelanggan, Slamet lebih memilih gowes malam hari.
Ia biasanya mangkal di depan Kantor Pusat Pegadaian di Jalan Kramat Raya, tepatnya di samping Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Banyak karyawan di kedua kantor itu memesan aneka minuman saat sore hari.
Selain di sana, Slamet juga suka mendekat ke lokasi proyek di sekitarnya.
Sebab, lokasi proyek juga menjadi ladang rezeki buatnya. Meladeni minuman untuk para kuli seusai kerja kasar.
Demi menggaet lebih banyak pembeli di sana, Slamet harus menurunkan harga. Dengan itu, banyak kuli yang memesan kopinya.
"Untuk segelas kopi panas kita hargai Rp 3 ribu segelas, Capucino panas Rp 4 ribu kalau pakai es Rp 5 ribu. Diratakan apalagi di lokasi proyek," katanya.
Sebenarnya, untung yang dituai dari segelas kopi seharga Rp 3 ribu tipis tetapi ia tak hanya mengejar untung besar melainkan meningkatkan jumlah pelanggan.
Baca juga: Polisi Tangkap Emak-emak Penjual Kopi Jadi Muncikari, Tarifnya Sekitar Rp 100 Ribu
Bila ada proyek, Slamet bisa meraup untung bersih sekitar Rp 300 ribu dalam dua hari dari para kuli. Namun, pernah juga ia mendapatkan Rp 600 ribu dalam dua hari di lokasi proyek.
Sejak tahun 2004, ia mengais rezeki sebagai pedagang starling.
Bahkan, seingatnya harga per gelas yang dijualnya itu pernah Rp 700 perak. Sekarang Rp 4 ribu satu gelas.
Pernah Ditusuk Pengamen

Suka duka mewarnai perjalanan hidup Slamet sebagai pedagang starling.
Ia bahkan pernah ditusuk oleh kawanan pengamen di sekitar Salemba pada tahun 2008 saat berjualan malam-malam.
Ketika itu, Slamet didatangi beberapa pengamen yang memaksa meminta duit buat mabuk. Tak dikasih, mereka pun memaksa.
Tak puas mendapatkan uang dari Slamet, mereka memaksa mengambil rokok dagangannya.
"Itu kejadiannya sekitar pukul 01.30 dini hari, pas enggak dikasih dia nusuk pakai kocrokan dan pisau. Ada tiga orang itu," ungkap pria enam anak itu.
Tak hanya menusuk, kawanan itu juga mengambil botol saos di sekitar lokasi dan kembali memukul Slamet.
Baca juga: Ingin Mudah Menentukan Karier Setelah Lulus? Berikut Cara Mengenal Minat dan Kemampuanmu
Tangan Slamet sempat menangkis botol itu hingga ia terjatuh.
Mereka pun kabur membawa berbungkus-bungkus rokok yang dibawa Slamet.
"Saya rugi sekitar Rp 3 juta modalnya itu. Rokok yang merek bagus semua," kenangnya.
Melihat aktivitas Kampung Starling lebih dekat

Sinar matahari sore mulai menembus celah-celah sempit di Kampung Starling, Senen, Jakarta Pusat.
Seiring dengan suara Azan Ashar menggema di kampung padat itu, para pedagang Starling sibuk menyiapkan barang dagangan.
Sore hari menandakan mereka harus bersiap-siap mengayuh sepeda starling menyisir jalanan ibukota.
Sepeda mereka yang dikalungi rencengan minuman kemasan terparkir berjejer di sepanjang jalan kampung itu.
Tangan mereka mulai mencucuk es batu di atas sepeda dengan tusukan besi. Es batu diambil dari lemari es yang berderet di tepi Kali Ciliwung.
Deretan termos yang diletakkan di bawah, masing-masing dituang dengan rebusan air panas. Beberapa mie cup dan teh celup ditata di sepeda.
Sebagian dari mereka sudah berangkat menggowes dengan peralatan lengkap, sedangkan yang belum masih menyiapkan 'amunisi' bagi pelanggan.
Pemandangan hiruk pikuk itu setiap hari berlangsung di Kampung Starling Senen.