Bela Anies atas Rapor Merah dari LBH, Wagub Ariza Pamer Program Subsidi Pangan 1 Juta Orang
Wagub DKI Jakarta itu mengunggah postingan perihal program pangan murah bersubsidi dalam laman resmi Instagramnya @arizapatria.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyampaikan kinerja Pemprov DKI Jakarta di masa kepemimpinan Anies Baswedan dalam upaya membantu masyarakat dengan menghadirkan program pangan bersubsidi.
Dalam 4 tahun kepemimpinan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta, Wagub DKI Jakarta itu mengunggah postingan perihal program pangan murah bersubsidi dalam laman resmi Instagramnya @arizapatria.
Meski sudah diposting sejak Rabu (20/10/2021), postingan ini masih dibanjiri komentar dari warganet.
"Selama 4 tahun terakhir, Pemprov DKI Jakarta berupaya memberikan subsidi pangan sekitar Rp 600 miliar - 1 triliun per tahunnya dengan total penerima mencapai lebih dari 1 juta orang," ucap Ahmad Riza Patria seperti dikutip TribunJakarta.com, Kamis (21/10/2021).
Baca juga: Dapat Rapor Merah dari LBH Jakarta, Anies Dibela Pengamat Sampai Singgung Borok Ahok
Adapun upaya yang dilakukan Pemprov DKI, diantaranya penerima subsidi lebih dari 1 juta orang, produk pangan yang disubsidi ditambah jadi 6 jenis, mendekatkan lokasi distribusi ke warga (Pasar, RPTRA, Rusun, Door to Door ke lokasi sesuai permintaan) di luar kondisi pandemi Covid-19, dan alokasi anggaran hampir Rp1 triliun per tahun.
Selain itu, pangan bersubsidi ini ditujukan bagi mereka penerima manfaat, di antaranya penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP), bergaji maksimal 1,1 Upah Minimum Provinsi (UMP), penghuni rusun yang sudah terhubung dengan Bank DKI, lansia yang tidak mampu dan penyandang disabilitas yang tidak mampu.
Baca juga: Anies Dideklarasikan jadi Capres 2024, Pengamat: Rekayasa Pencitraan Bisa jadi Bumerang
Sehingga para penerima manfaat ini dapat membeli pangan bersubsidi seperti telur ayam (1 kilogram) Rp10 ribu, beras (5 kilogram) Rp30 ribu, Ikan Kembung (1 kilogram) Rp13 ribu, susu UHT (24 pak perkarton) Rp30 ribu, daging sapi (1 kilogram) Rp35 ribu, serta daging ayam (1 ekor) Rp8 ribu.
Kini, pangan murah bersubsidi bisa didapat di gerai Pasar Jaya yang sudah tersebar di 36 Pasar di Jakarta atau daftar online melalui https://antriankjp.pasarjaya.co.id, serta offline dengan menghubungi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
10 Poin Rapor Merah Anies
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta memberikan rapor merah untuk Anies Baswedan atas empat tahun kepemimpinan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Rapor merah bertajuk 'Jakarta Tidak Maju Bersama' itu disampaikan LBH Jakarta dan diterima Asisten Pemerintahan (Aspem) DKI Jakarta Sigit Wijatmoko, di Balai Kota, pada Senin (18/10/2021).
"LBH Jakarta menyoroti 10 permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual warga DKI Jakarta, serta refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan di DKI Jakarta," ucap pengacara publik LBH Charlie Albajili.
Berikut rincian 10 catatan rapor merah 4 Tahun Gubernur Anies:
1. Buruknya kualitas udara Jakarta
Kualitas udara Jakarta dianggap sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999.
Selain itu, kualitas udara ibu kota juga disebut LBH tak lagi sesuai dengan BMUA DKI Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di DKI Jakarta.
"Hal ini disebabkan oleh abainya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan," ujarnya di Balai Kota.
2. Sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi
Charlie mengatakan, permasalahan ini kerap ditemui pada warga yang tinggal di pinggiran ibu kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan masyarakat tidak mampu.
Selain aksesnya yang sulit, kualitas air di ibu kota juga dianggap buruk, sehingga tidak layak digunakan atau dikonsumsi masyarakat.
"Pasokan air yang kerap terhambat akibat kecilnya daya jangkau air, mutu/kualitas air yang buruk, dan memburuknya kualitas air tersebut tentu saja akan berakibat pada air yang tidak layak digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat," ujarnya.
Baca juga: 4 Tahun Anies Jadi Gubernur DKI, Daftar Tugu yang Dibangun Tuai Perhatian, Biaya Fantastis
3. Penanganan banjir
Pemprov DKI dianggap belum bisa menangani masalah banjir sampai ke akarnya.
Pasalnya, penanganan banjir selama ini hanya fokus pada aliran sungai di wilayah Jakarta dengan menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir lewat betonisasi.
Padahal, ada beberapa tipe banjir, yaitu banjir karena hujan lokal, banjir kiriman hilu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur, dan banjir kombinasi.
"Pada beberapa Peraturan Kepala Daerah pun masih ditemukan potensi penggusuran dengan adanya pengadaan tanah di sekitar aliran sungai," tuturnya.
4. Penataan kota yang belum partisipatif
Penataan kota dengan pendekatan partisipasi warga atau Community Action Plan (CAP) merupakan bagian dari 23 janji kampanye Anies.

Salah satu contoh penerapannya ialah pembangunan Kampung Akuarium di wilayah pesisir utara Jakarta.
Namun, dalam penerapannya LBH Jakarta menilai penerapannya tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium.
5. Ketidakseriusan Pemprov DKI dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum
Hal ini disorot LBH lantaran tidak adanya aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah (Perda) di DKI Jakarta.
"Kekosongan aturan inilah melahirkan berbagai dampak seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui APBD," ucapnya.
"Serta penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum," tambahnya menjelaskan.
Baca juga: 4 Tahun Gubernur Anies, Gagal Perbaiki Udara Jakarta hingga Diputus Bersalah Soal Polusi
6. Sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta
Program rumah DP 0 Rupiah yang digadang-gadang sejak masa kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 lalu menjadi sorotan LBH.
Pasalnya, Anies sempat menargetkan bakal membangun 232.214 unit rumah DP 0 Rupiah bagi warganya.
Kemudian, target itu mendadak direvisi Gubernur Anies Baswedan menjadi hanya 10 ribu unit.
Ketentuan soal pembelian rumah DP 0 Rupiah ini pun diubah dari awalnya dikhususkan bagi warga berpenghasilan Rp4 juta sampai Rp7 juta, menjadi Rp14 juta.
"Perubahan kebijakan yang cukup signifikan itu telah menunjukan ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk memenuhi janji politiknya semasa kampanye," ujarnya.
7. Belum ada intervensi signifikan terkait permasalahan warga di pesisir dan pulau kecil
LBH Jakarta menilai, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah lain.
Pasalnya, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.
Alih-alih menetapkan kebijakan yang menempatkan warga pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai aktor utama, draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang disusun Pemprov dinilai justru berpotensi mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.
Baca juga: Dideklarasikan Sebagai Capres 2024, Simak Rekam Jejak Anies Baswedan: Dari Akademisi Jadi Politikus
8. Penanganan pandemi yang masih setengah hati
Capaian 3T (testing, tracing, dan treatment) yang dilakukan Pemprov DKI di masa krisis dinilai LBH Jakarta sangat rendah.
Padahal, DKI Jakarta merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19.
"Pelaksanaan vaksinasi untuk kelompok prioritas juga lambat, dan justru ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak tidak berhak," tuturnya.
Pemprov DKI juga dianggap gegabah lantaran melakukan pelonggaran dengan membuka mal pada Agustus 2021 dan membuka mengizinkan anak di bawah 12 tahun melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
Padahal kala itu positivity rate Covid-19 masih berada di atas lima persen.
"Hal ini diperburuk dengan buruknya kinerja pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti," kata Charlie.
"Di situasi kedaruratan kesehatan ini, Pemprov DKI belum memprioritaskan aspek kesehatan masyarakat ketimbang pertumbuhan ekonomi," sambungnya.
9. Penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta
LBH Jakarta menilai, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta.
Sebab, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Nomor 207 Tahun 2016 yang dibuat Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok masih dipertahankan Anies.
Adapun aturan itu berisi tentang penertiban pemakaian atau penguasaan tanah izin.
Aturan itu sebelumnya kerap dijadikan landasan hukum bagi Ahok dalam melakukan penggusuran.
"Ironisnya, perbuatan tersebut dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif HAM," ucapnya.
Charlie menyebut, Pergub itu kini masih digunakan Anies untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga di Menteng Dalam, Pancoran Buntu II, Kebun Sayur, Kapuk Poglar, Rawa Pule, Guji Baru, dan Gang Lengkong Cilincing.
10. Reklamasi
Gubernur Anies Baswedan dinilai tidak konsisten dengan janji kampanye lantaran masih ada indikasi reklamasi tetap dilanjutkan.
Indikasi ini muncul setelah Anies menerbitkan Pergub Nomor 58/2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Pergub ini menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai 'perusahaan mitra'," tuturnya.
Problem lain muncul ketika pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat dan segera.
Pemprov DKI Jakarta tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan.
Selain itu pencabutan tanpa didahului transparansi dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Ketiadaan kajian tersebut terlihat kompromistis karena Anies tetap melanjutkan 3 pulau lainnya.
Alhasil, gelombang gugatan balik dari pengembang pun terjadi. Pemprov DKI Jakarta menang di tingkat Mahkamah Agung untuk gugatan Pulau H, namun kalah di gugatan lain seperti Pulau F dan Pulau G.
"Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick belaka," kata dia.