Wacana Hukuman Mati Koruptor Bukan Urusan Jaksa Agung ST Burhanuddin
Muncul wacana hukuman mati terhadap para koruptor di kasus Jiwasraya maupun Asabri. Pakar menyebut semuanya ditentukan oleh majelis hakim.
TRIBUNJAKARTA.COM - Muncul wacana hukuman mati terhadap para koruptor di kasus Jiwasraya maupun Asabri.
Hal itu disampaikan langsung oleh Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin dalam briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis 28 Oktober 2021.
Terkait wacana hukuman mati koruptor Jiwasraya-Asabri, Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Pakuan Bogor, Yenti Garnasih mengatakan bahwa terkait dengan pidana mati, menurutnya bukanlah kewenangan jaksa agung.
Kejaksaan hanya bisa melakukan penuntutan, namun yang memutuskan adalah majelis hakim.
"Kalau pidana mati itu kan urusannya bukan di jaksa agung, urusannya di hakimnya. Jaksa hanya menuntut kan, tapi apakah nanti bisa dilaksanakan atau tidak, atau dijatuhkan atau tidak itu tergantung hakim," kata Yenti kepada wartawan.
Menurutnya, pidana mati memiliki sejumlah resiko yang harus diperhitungkan secara matang.
Baca juga: Sidang Kasus Asabri Diminta Dilakukan Terpisah, Kuasa Hukum Ungkap Hal Penting
"Kita harus berhitung kalau seandainya uang para koruptor itu di luar negeri, nah itu ada perhitungannya tuh. Artinya kemungkinan kita agak susah meminta bantuan kepada negara lain, tolong rampaskan uang-uang koruptor ini, kecuali negara itu juga menerapkan pidana mati," katanya.
"Misalnya Indonesia menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, harta kekayaannya ada di Malaysia atau Singapura yang juga menerapkan hukuman mati sebagaimana beberapa negara yang juga demikian, kita minta bantuan ke sana itu oke saja," katanya.

"Tapi kalau kita menerapkan pidana mati dan harta kekayaan yang disita ini belum selesai proses perampasannya dan kita minta tolong ke negara yang tidak menganut pidana mati biasanya ditolak. Karena 'nggak bisa, kan negara saya dan negara anda berbeda prinsip karena kami tidak lagi menganut pidana mati, namun negara anda menganut pidana mati'," ujarnya lagi.
Seharusnya dipahami bahwa kasus korupsi tidak hanya pada tindak pidananya saja, namun juga terkait erat dengan penyitaan aset hasil dari tindak pidana korupsinya seoptimal mungkin.
Namun, kata dia, jaksa juga harus cermat dalam melakukan penyitaan atau perampasan, sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan.
"Hal itu memang benar-benar harus dilakukan secara transparan kepada masyarakat, yang udah disita itu berapa, gitu. Harus dikaitkan juga dengan proses penyitaannya, karena kan kemarin ada pihak ketiga yang beritikad baik dimenangkan gugatannya."
Baca juga: Kejaksaan Ingin All Out Sita Aset Jiwasraya, Yenti Ungkap Hal Ini
"Jadi sebaiknya proses penyitaannya harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat, bagaimana sebetulnya gitu loh. Jadi jangan kita gebar-geber di proses penyitaannya saja tapi jumlahnya berapa dan apakah betul itu milik tersangka atau dibeli oleh tersangka dengan uang korupsi?" kata Yenti.
"Jangan seperti BLBI toh, yang penyitaan berapa hektar ini loh, tapi ternyata status tanahnya berbeda. Satgas BLBI dengan bangganya bilang ini itu, iya tau, tapi status tanahnya itu tanah apa? Kalau status tanahnya tanah garapan itu jelas dagelan! Menyita tanah tapi ternyata punya pemerintah sendiri."
"Kita harus mengedukasi masyarakat, mereka tidak tahu terus masih dibohongi. Itu kan nggak boleh juga, nggak bagus lah. Jadi semuanya harus trasparan," katanya.
Yenti pun mempertanyakan ketegasan Jaksa Agung dalam kasus eks jaksa Pinangki Sirna Marasari yang masih terdapat ketidakadilan.
"Terkait Pinangki, ya itulah setiap pertanyaan yang seharusnya disadari oleh kejaksaan agung dan para penegak hukum yang lain. Jika mereka mengambil langkah-langkah yang 'tidak adil' bahkan karena orang tersebut bagian dari Korpsnya sendiri, bahkan malah ada pengurangan bukannya dihukum maksimal. Itu kan menunjukkan bahwa dia tidak bisa menegakkan hukum dengan objektifp," kata dia.

Apalagi menurutnya, Kejaksaan Agung merupakan lembaga penegakan hukum yang seharusnya bisa menegakkan keadilan.
Selain pemidanaan bertujuan untuk penjeraan, Yenti mengatakan bahwa yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak pidana korupsi.
"Jadi perlu kerjasama semua pihak, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jangan membuat sistem yang membuat orang mau korupsi. Kita jangan hanya melihat orang korupsi di pidana mati, dipenjarakan, dibuat jera, itu tidak bisa! Jadi kita sudah saatnya harus bicara juga tentang pencegahan tindak pidana koruspi secara sitematis, dan melihat sistem-sistem yang ada di eksekutif, yudikatif dan legislatif," lanjutnya.
"Sebenarnya kalau jaksa menuntut setinggi-tingginya pidana mati, oke saja. Tapi kalau ngomong jaksa akan menghukum pidana mati itu, ya nggak bener. Nggak mungkin mereka menghukum kan? Jaksa hanya bisa menuntut setinggi-tingginya," kata Yenti.
Baca juga: Pakar Kritisi Cepatnya Kejaksaaan Limpahkan Berkas Perkara 13 Tersangka Kasus Jiwasraya
Ia pun mengatakan bahwa seluruh pemangku kebijakan juga harus berkomitmen dalam melakukan penegakan hukuman mati bila nanti akhirnya disepakati, jangan sampai lembaga-lembaga terkait tak sejalan.
"Nanti hakimnya malah bertolak belakang," kata Yenti yang juga tim perumus RUU KUHP. (*)