Terungkap! Kerangkeng Bupati Langkat Punya Aturan Melebihi Penjara, LPSK: Menunjukkan Kebal Hukum
Fakta-fakta baru semakin banyak terungkap tentang kerangkeng manusia milik Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin.
TRIBUNJAKARTA,COM - Fakta-fakta baru semakin banyak terungkap tentang kerangkeng manusia milik Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin.
Kini, Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban (LPSK) menapati kesaksian soal kerangkeng itu.
Di antaranya adalah terkait peraturan pembinaan yang bahkan pembatasannya melebihi penjara atau rumah tahanan di Indonesia.
Sederet peraturan kerangkeng bahkan menjurus kepada upaya kebal hukum.
Orang yang Dikerangeng
Jika sebelumnya pihak kepolisian menyebut kerangkeng itu merupakan tempat rehabilitasi pecandu narkoba, maka LPSK mendapati temuan lain.
Wakil Ketua LPSK RI Edwin Partogi Pasaribu, mengungkapkan, ornag-orang yang dikerangkeng bukan hanya para korban penyalahgunaan narkotika.
Edwin menyebut di dalam kerangkeng itu ada yang karena berjudi.
Baca juga: Maut Kerangkeng Bupati Langkat: Tahan 656 Orang Hingga Ada yang Tewas Dianiaya, Polisi Temukan Makam
"Tidak semua penghuninya yang narkotika, ada yang tukang judi, ada yang 'main perempuan'. Keluarga sudah kewalahan menyerahkan di sini," kata Edwin.
Terakhir LPSK juga menemukan dugaan para penghuni dipekerjakan tanpa dibayar.
Para penghuni ini disebut dipekerjakan di pabrik milik Terbit Rencana.
"Ini yang kita duga kerja rodi. Mengapa para tahanan itu dipekerjakan dan tidak digaji. Kalau dikatakan ada 200 pekerja, ada ekstra 40 dari penghuni ini," ucap Edwin.

Ada Luka di Jasad Penghuni Tewas
Edwin juga mengungkapkan, pernah ada penghuni yang meninggal saat mendekam di dalam sel pribadi milik Bupati Langkat itu.
"Informasi yang kita dapatkan kemarin dan sudah kita konfirmasi terhadap keluarga, adanya korban tewas yang di tubuhnya terdapat tanda-tanda luka," ujar Edwin.
Edwin mengatakan peristiwa itu terjadi pada 2019.
Baca juga: Mewahnya Istana Milik Bupati Langkat, di Halaman Belakangnya Pekerja Sawit Berjubel Dalam Kerangkeng
Dari penjelasan keluarga, kata Edwin, korban diketahui meninggal sejak sebulan di dalam sel.
"Dari informasi yang kita dapat dari keluarga, ada keluarganya meninggal yang disampaikan kepada kami setelah satu bulan menjalani rehabilitasi di sel tahanan Bupati Langkat," kata Edwin.
Ia mengatakan awalnya pihak keluarga dihubungi tentang penghuni yang tewas itu karena alasan sakit asam lambung.
Pihak keluarga kemudian mendatangi lokasi dan merasa curiga karena jenazah korban sudah dimandikan.
"Ketika pihak keluarga datang ke lokasi, mereka merasa ada yang ganjil, karena kata pihak pengelola, mayat itu sudah dimandikan, dikafankan, dan tinggal dikuburkan," ucap Edwin.
Pihak keluarga saat itu sempat mengecek kondisi jenazah. Setelah dicek, ternyata ditemukan sejumlah bekas luka.
"Mereka sempat membuka kafan itu terlihat di wajahnya bekas luka," ujar Edwin.
Meski begitu Edwin menyatakan pengakuan pihak keluarga itu masih perlu pendalaman lebih jauh.
Baca juga: Foto-foto Kerangkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat, Ada Pria Linglung dengan Wajah Babak Belur
LPSK sudah memberikan informasi terkait hal ini kepada Polda Sumut.
Terkait benar-tidaknya informasi ini, kata Edwin, akan diputuskan dari hasil pemeriksaan polisi.
"Meski itu baru sebatas pengakuan keluarga dan perlu pendalaman lebih jauh terkait hal itu. Benar-tidaknya menunggu proses hukum selanjutnya. Namun dari pernyataan itu kita bisa mengetahui bagaimana situasi sebenarnya di dalam sel tahanan pribadi tersebut," jelasnya.
Aturan Lebihi Penjara
Pihak keluarga yang ingin memasukkan anggota keluarganya ke dalam sel yang disebut tempat rehabilitasi itu, harus menandatangani surat pernyataan.
Surat pernyataan itu menyebutkan pihak keluarga tidak boleh meminta agar penghuni dipulangkan selain izin dari pembina kerangkeng.
"Yang menarik adalah adanya pernyataan dari pihak keluarga bahwa mereka tidak akan pernah meminta untuk dipulangkan," tutur Edwin.
Edwin menilai pembatasan-pembatasan itu bahkan melampaui pembatasan yang terjadi di dalam rutan atau lapas milik negara.

"Jadi ada aktivitas yang dibatasi, melampaui pembatasan yang terjadi di dalam rutan atau lapas milik negara. Hal yang menjadi pertanyaan juga adalah, kurun waktu mereka berada di dalam kerangkeng itu juga cukup lama dan beragam. Standarnya ada satu setengah tahun, tapi juga ada bisa lebih dari itu. Bahkan informasi ada yang selama 4 tahun," terangnya.
Selain itu, pihak keluarga juga harus membuat pernyataan untuk tidak menggugat jika terjadi sesuatu pada penghuni selama dalam kerangkeng.
"Pernyataan kedua menurut kami lebih luar biasa. Apabila ada hal-hal yang terjadi terhadap anak saya selama dalam pembinaan, seperti sakit atau meninggal, maka kami dari pihak keluarga tidak akan menuntut pihak pembina. Ini menunjukkan kebal hukum," ucap Edwin.
Para penghuni kerangkeng itu ternyata juga dibatasi untuk beribadah.

"Apakah, mereka bisa melaksanakan ibadah? Hal itu juga dibatasi. Kami melihat ada sajadah. Tapi ketika kami tanyakan, apakah boleh mereka salat Jumat, tidak boleh. Apakah mereka bisa Salat Id, tidak boleh. Bagaimana yang ke gereja, tidak boleh. Saat Natal, tidak boleh," kata Edwin.
Edwin menyebutkan orang-orang yang menghuni kerangkeng itu juga dibatasi aksesnya bertemu keluarga.
Pihak keluarga tidak bisa membesuk mereka dalam waktu tertentu.
"Dalam enam atau tiga bulan pertama tidak boleh diakses oleh keluarga. Kami juga mendatangi lokasi, pabrik, dan mendengar sendiri, apakah mereka bisa berkomunikasi dengan keluarga, misalnya dengan handphone. Ternyata aksesnya dibatasi," ujarnya.
Tidak Gratis
Edwin kemudian juga menunjukkan sejumlah bukti yang mereka temukan terkait dugaan penghuni melakukan pembayaran.
Di dalam bukti itu tertulis sejumlah angka yang diduga pembayaran oleh penghuni.
"Ini bukti pembayaran yang kami dapatkan, ini ada nama-namanya. Nggak tahu bayar apa. Dokumen ini berada di dalam rutan," terang Edwin.

Dari penelusuran di lapangan, LPSK menemukan adanya dua kerangkeng di dalam rumah Terbit Rencana.
Selain itu ada tempat kosong yang berada di sekitar kerangkeng yang diduga sebagai tempat masak.
"Informasi yang kami peroleh ketika penggerebekan, ketika penangkapan Bupati oleh KPK, mereka menemukan ini. Ketika pertama kali ditemukan, jumlah total 43. Pembagiannya berapa belum jelas. Di kerangkeng 1 itu, (penghuninya) yang lebih muda, lebih terakhir masuk," kata Edwin.
Edwin mengatakan lokasi kerangkeng itu tidak sesuai standar jika dijadikan sebagai tempat rehabilitasi. Di dalam kerangkeng terdapat WC.
"Ada MCK 80x150 cm. Batas tembok cuma sepinggang," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Keluarga Mengaku Temukan Bekas Luka pada Tubuh Penghuni Kerangkeng yang Meninggal Tahun 2019 Lalu