Usia Tak Lagi Muda, Semangat Sayidi Tetap Menyala: Jualan Sejak 1968 Hingga Rasakan Pahitnya Pandemi
Sayidi tersenyum saat menyapa pelanggan ketika membeli es cendol racikannya di kawasan Kuliner BSM Sabang. Ia bercerita manis pahit berjualan cendol.
Penulis: Pebby Ade Liana | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Lain dulu lain sekarang, Sayidi bercerita sebelum pandemi ia mampu meraup omzet sampai Rp 1,5 juta perharinya. Belum lagi jika ada pesanan dari para pelanggannya.
Namun, saat ini ia menuturkan hanya mampu menjual sekitar 30 gelas sehari.
Padahal, harga yang ditawarkan untuk segelas es cendol buatannya cukup terjangkau yaitu hanya Rp 7 ribuan.
"Sekarang buat modal aja susah. Paling buat makan sama modal lah. Dulu padahal, omzetnya bisa Rp 1,5 juta sebelum pandemi. Pas pandemi paling kadang 30 gelas," imbuhnya.
Meski begitu, semangat Sayidi tak pernah luntur. Meski sudah berusia lanjut, namun semangatnya begitu terlihat ketika melihat pembeli datang mengunjungi kiosnya.
"Saya beberapa hari ini hanya balik modal terus. Tapi namanya kerjaan, kita jalanin lah,"
"Namanya tenaga masih mampu, nongkrong di rumah juga saya gak betah, yaudah jalanin aja," imbuhnya.
Jajanan Legendaris Yang Murah Meriah
Tangan-tangan keriput Sayidi (71) begitu lihai kala meracik segelas es cendol bandung untuk para pelanggan.
Meski sudah berusia lanjut, tetapi Sayidi masih tampak begitu bugar saat berjualan Es Cendol di kawasan Kuliner BSM, Sabang, Jakarta Pusat.
Rupanya, Sayidi mengaku sudah terbiasa sejak puluhan tahun lalu.
Sayidi bercerita, telah berjualan selama kurang lebih 54 tahun sejak tahun 1968 silam.
"Saya di Jakarta dari tahun 1965. Jualan tapi ganti-ganti, cuma pokoknya cendol. Sebelum di sini (Jakarta), saya sempat jualan cendol di Bandung juga 11 tahun," kata Sayidi pada TribunJakarta.com, Rabu (23/2/2022).
Dahulu, kata Sayidi awal mulanya ia hanya seorang pedagang cendol kaki lima.
Berawal dari kawasan Pasar Boplo sekitar tahun 1968, dulu harga segelas es cendol racikannya hanya dibandrol 10 perak.