LPSK Usulkan Kerangkeng Manusia di Langkat Dijadikan Museum Perbudakan

LPSK mengusulkan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif Terbit Rencana Perangin Angin dijadikan museum perbudakan.

Penulis: Bima Putra | Editor: Wahyu Septiana
Kolase Tribun Jakarta via Tribun Medan
Praktik penyiksaan tak manusiawi kepada korban kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat non aktif, Terbit Rencana Perangin Angin menggunakan kode khusus. 

"Ya kenapa tidak ditahan? Ini bukan kejahatan penipuan, ini bukan kejahatan penggelapan, bukan juga kecelakaan lalu lintas. Ini terhadap tubuh," kata Edwin di Jakarta Timur, Selasa (22/3/2022).

Menurut hasil investigasi LPSK kasus ini kejahatan keji karena terjadi serangkaian tindak pidana seperti TPPO, penganiayaan menyebabkan kematian, kekerasan terhadap anak, penistaan agama.

Baca juga: LPSK Pertanyakan Jumlah Tersangka Kasus Kerangkeng Langkat Cuma 8 Orang, TRP dan Anaknya?

Terlebih kasus melibatkan Terbit yang merupakan kepala daerah, diduga belasan warga sipil, dan oknum anggota TNI-Polri sehingga dilakukan secara terorganisir oleh orang-orang 'berpengaruh'.

"Tidak ditahannya para pelaku pasti merupakan ancaman kepada para saksi, korban. Termasuk juga bukan hanya harus ditahan tapi juga dicekal (pergi ke luar negeri)," ujarnya.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022).
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu (kanan) dan Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan saat memberi keterangan terkait kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati non aktif Langkat, Jakarta Timur, Rabu (9/3/2022). (Bima Putra/TribunJakarta.com)

Edwin mencontohkan sejumlah korban yang sampai pergi ke luar kota karena pesimis dengan proses hukum berjalan dapat menjerat aktor utama di balik kerangkeng manusia.

Menurutnya dalam kasus TPPO penyidik wajib bertanya kepada para korban untuk memastikan mereka mendapat restitusi atau ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku lewat proses peradilan.

Setidaknya kepada 65 orang yang masih berada dalam kerangkeng saat kasus terungkap pada Januari 2022 lalu dan dapat bebas setelah membobol gembok sel.

"Supaya pemenuhan hak korban atas restitusi itu bisa terjadi, harus dilakukan sita aset. Mereka bekerja untuk perusahaan TRP, tempat mengeksploitasi itulah disita aset," tuturnya.

Tersangka Cuma 8 Orang?

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan berdasar investigasi pihaknya lewat keterangan para korban jumlah pelaku yang terlibat dalam kasus kerangkeng manusia sebanyak 19 orang.

Bukan hanya delapan orang seperti yang dinyatakan tersangka oleh Polda Sumatera Utara dengan sangkaan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

"Kalau dari informasi yang LPSK dapat dari para korban itu setidaknya ada 19 orang pelaku. Ini termasuk oknum anggota TNI-Polri," kata Edwin saat dikonfirmasi di Jakarta Timur, Selasa (22/3/2022).

Untuk anggota TNI proses hukumnya memang ditangani Polisi Militer (Puspom) dan peradilannya ditangani Pengadilan Militer, beda dengan sipil dan anggota Polri yang ditangani secara umum.

Baca juga: Temui Mahfud MD, LPSK Beri Satu Bundel Hasil Temuan Kasus Kerangkeng Manusia Bupati Langkat

Tapi jumlah delapan tersangka yang ditetapkan Polda Sumatera Utara ini lebih sedikit karena berdasar temuan LPSK sedikitnya ada 12-15 orang sipil terlibat dalam kasus kerangkeng.

Tidak hanya jumlah tersangka yang lebih sedikit, LPSK mempertanyakan alasan Terbit dan anaknya berinisial DW tidak termasuk dalam delapan tersangka ditetapkan Polda Sumatera Utara.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved