Pembelaan Kolonel Priyanto Tidak Lakukan Pembunuhan Dibantah Telak Pakai Dalil Hukum Ini

Isi pleidoi Kolonel Inf Priyanto yang menyatakan tidak membunuh sejoli Nagreg karena kedua korban lebih dulu meninggal sebelum dibuang.

Penulis: Bima Putra | Editor: Jaisy Rahman Tohir
Tribun Jakarta/Bima
Kolonel Priyanto menjalani sidang pledoi dalam kasus kematian sejoli Nagreg. 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, CAKUNG - Isi pleidoi Kolonel Inf Priyanto yang menyatakan tidak membunuh sejoli Nagreg karena kedua korban lebih dulu meninggal sebelum dibuang tak dapat diterima hukum.

Oditur Militer Tinggi II Jakarta, Kolonel Sus Wirdel Boy mengatakan pembelaan bahwa Handi Saputra (17) dan Salsabila (14) sudah meninggal sebelum dibuang ke Sungai Serayu tidak berdasar.

Melalui replik atau tanggapan atas pleidoi, Wirdel menjelaskan penentuan kematian seseorang tidak sembarang karena diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2014.

Dalam peraturan tersebut diatur penentuan kematian harus dilakukan di fasilitas kesehatan, dan dilakukan oleh tenaga medis dengan memperhatikan nilai agama, moral, etika, dan hukum.

"Pasal 5 ayat 1 menyebutkan penentuan kematian di fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh tenaga medis," kata Wirdel menyampaikan replik di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (17/5/2022).

Baca juga: Oditur Militer: Jiwa Sapta Marga Tak Tertanam di Kolonel Priyanto

Masih merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2014, dia menjelaskan bahwa pada Pasal 5 ayat 2 maka tenaga medis yang dapat menentukan kematian diutamakan dokter.

Kemudian dalam Pasal 5 ayat 2 dijelaskan penentuan kematian dalam kasus tidak ada dokter dapat dilakukan perawat dan bidan, dan pada Pasal 6 dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan lain.

Sementara dalam nota pembelaan tim penasihat hukum Priyanto, Handi dinyatakan meninggal dunia berdasar keterangan Priyanto dan Kopda Andreas Dwi Atmoko, Koptu Ahmad Soleh.

"Hanya karena keterangan terdakwa, saksi dua (Andreas), saksi tiga (Soleh) yang menyebutkan bahwa kedua korban sudah meninggal dunia pada waktu diangkat ke kendaraan Isuzu Panther," ujar Wirdel.

Wirdel menuturkan dakwaan dan tuntutan yang diajukan kepada Priyanto dengan sangkaan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 ayat 1 KUHP berdasar hukum.

Kolonel Inf Priyanto saat dihadirkan sebagai terdakwa dalam sidang di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (17/5/2022)
Kolonel Inf Priyanto saat dihadirkan sebagai terdakwa dalam sidang di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (17/5/2022) (TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA)

Pasalnya berdasar keterangan saksi ahli dan hasil autopsi berupa Visum et Repertum dibuat dokter forensik, Zaenuri Syamsu Hidayat, Handi masih hidup saat dibuang ke Sungai Serayu.

"Bahwa yang berwenang menyatakan seseorang meninggal dunia menurut peraturan menteri kesehatan adalah dokter tenaga medis," tuturnya.

Berdasar hasil autopsi Handi dibuang dalam keadaan pingsan lalu meninggal karena tenggelam di Sungai Serayu karena ditemukan air dan pasir dalam rongga dada saat autopsi.

Hal ini yang membuat Oditur Militer menjerat Priyanto dengan Pasal 340 KUHP dengan tuntutan seumur hidup penjara dan pidana tambahan berupa pemecatan dinas dari TNI AD.

"Sehingga keterangan terdakwa, saksi dua, dan saksi tiga yang menyatakan saudara Handi Saputra telah meninggal dunia secara hukum tidak dapat diterima," lanjut Wirdel.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved