ITF Sunter Mangkrak Ditinggal Investor, Anggota Komisi D: Proyek ITF Ini Lebih Penting Ketimbang JIS
Anggota Komisi D DPRD DKI membandingkan proyek ITF Sunter dengan Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta Utara.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Wahyu Septiana
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Anggota Komisi D DPRD DKI Jamaluddin Lamanda membandingkan proyek Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, Jakarta Utara dengan Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta Utara.
Menurutnya, lebih penting pembangunan ITF Sunter ketimbang pembangunan JIS yang merupakan stadion olahraga.
"Rencanakan yang baru pakai APBD, APBD Rp4 T saya kira bisa itu dengan sistem cicilan pertahun berapa, biarkan saja kita puasa di tempat lain, kalau masyarakat Jakarta disensus mau ngomong lebih penting ITF Sunter ini dari pada JIS," ujarnya saat rapat kerja Komisi D DPRD DKI terkait pengelolaan sampah, Senin (23/5/2022).
Menurutnya, pembangunan JIS bisa ditunda lantaran merupakan sarana olahraga.
Namun, untuk masalah sampah menyangkut hajat hidup orang banyak.
Baca juga: Proyek ITF Sunter Mandek dan Ditinggalkan Investor, Wagub Ariza Bilang Tinggal Cari Investor Baru
Sebab, ITF Sunter mampu mengurangi sampah sebanyak 2.200 ton per hari dan diperkirakan mampu menghasilkan energi listrik sebesar 35 Megawatt.
Fasilitas pengelolaan sampah ini turut diharapkan dapat meminimalkan ketergantungan daerah terhadap Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di luar daerah.

"Ya olahraga masih bisa ditunda, kalau sampah ini engga bisa, ini menyangkut hajat hidup org banyak menyangkut banyak aspek yang berpengaruh didalamnya," lanjutnya.
"Berapa dana yang dihabiskan oleh Pak Asep (Kadis LH DKI) pertahun ini jajarannya lingkungan hidup untuk kemudian membuang sampah. Kalau itu bisa dihemat saja setahun bisa berapa," tandasnya.
Pinjaman Dana untuk ITF Sunter Ditolak DPRD
Pembangunan ITF Sunter digadang-gadang Gubernur Anies Baswedan sebagai solusi untuk mengatasi masalah sampah di ibu kota.

Terlebih, DKI hingga kini masih sangat tergantung pada Kota Bekasi untuk membuang sampah yang dihasilkan warganya ke TPST Bantargebang.
Awalnya, Anies berencana membangun ITF Sunter pada 2019 lalu dan ditargetkan rampung 2022 mendatang.
Namun, proyek ITF Sunter beberapa kali ditinggal investor sehingga pembangunannya belum juga dimulai hingga saat ini.
Untuk memulai pembangunan ITF Sunter, Pemprov DKI sempat mengajukan pinjaman Rp4 triliun kepada DPRD.
Namun, pengajuan pinjaman tersebut tak direstui legislatif.
Baca juga: Pengajuan Pinjaman Ditolak DPRD, Pemprov DKI Jakarta Tetap Ngotot Bangun ITF Sunter
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengatakan, pengajuan ini dicoret lantaran PT Jakpro dinilai tak bisa menjelaskan rincian penggunaan anggaran triliunan rupiah tersebut.
"Pengajuan yang ditolak Rp4 triliun lebih," ucap Pras, sapaan akrab Prasetyo, Rabu (24/11/2021).
Sebagai informasi, utang Rp4 triliun ini diajukan PT Jakpro kepada BUMN PT Sarana Multi Infrastruktur.
Setiap pengajuan utang kepada PT SMI ini pun harus melalui persetujuan DPRD.
"Itu uang pinjaman ke SMI dan harus menurut persetujuan saya. Kalau usul ini saya terima tanpa ada pemaparan, pasti saya tolak," ujarnya.
Politisi senior PDIP ini menjelaskan, awalnya Pemprov DKI hanya ingin mengajukan pinjaman Rp2,8 triliun dalam draf Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD 2022 pada awal November lalu.

Namun, mendadak nominal pinjaman itu berubah menjadi Rp4 triliun lebih setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan surat permohonan persetujuan pengajuan utang untuk membangun ITF Sunter.
Dalam surat itu Anies jug menjelaskan, pembayaran utang akan dilakukan secara berkala mulai 2022 hingga 2024 mendatang.
Prasetyo pun khawatir, pinjaman ini justru memberatkan pejabat sementara pengganti Anies yang akan lengser pada Oktober 2022 mendatang.
"Nanti pejabat gubernur pengganti pak Anies (yang lengser) 2022 bingung pembayarannya gimana. Karena saya melihat sampai 2024 ini tanggung jawab pejabat gubernur," ujarnya
Legislator DKI Dorong Pembangunan RDF karena ITF Sunter Mandek Ditinggal Investor
Legislator DKI Jakarta mendorong, adanya pembangunan refuse derived fuel (RDF) untuk menangani persoalan sampah.
Baca juga: Program ITF Mangkrak, Pemprov DKI Terpaksa Perpanjang Kerja Sama TPST Bantargebang
RDF merupakan salah satu teknik penanganan sampah dengan mengubahnya menjadi bahan bakar, salah satunya batu bara.
Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah mengatakan, kehadiran RDF bisa menjadi solusi atas mandeknya pembangunan intermediate treatment facility (ITF) Sunter, Jakarta Utara yang awalnya diklaim bisa menangani sampah di Jakarta.
Apalagi total sampah yang masuk ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TSPT) Bantargebang, Kota Bekasi milik Pemprov DKI Jakarta mencapai 7.000 ton per hari.
“Kami mendorong adanya RDF-RDF lain, paling tidak sedikit menyelesaikan permasalahan sampah yang ada di DKI Jakarta,” ujar Ida usai rapat kerja dengan eksekutif pada Selasa (17/5/2022).
Ida tidak menampik ada plus-minus dalam pembangunan RDF. Sisi baiknya, anggaran yang disiapkan lebih rendah dari ITF yakni sekitar Rp 900 miliar, seperti RDF di Bantargebang, Kota Bekasi.
Namun untuk minusnya, sampah yang dikelola tidak sebesar ITF. “Pembangunan RDF memang anggarannya kecil tapi ada manfaatnya. ITF juga ada, tetapi kan pemerintah harus membayar tipping fee (kepada pihak ketiga), tapi RDF Rp 850 miliar nggak perlu bayar tipping feee,” kata Ida.
“Kalau bicara tipping fee setiap tahun itu besar, lebih baik pemerintah mengeluarkan uang sekali satu tahun, selesai dan tidak lagi membayar kecuali untuk biaya operasional saja,” sambung Ida dari Fraksi PDI Perjuangan ini.

Menurut dia dengan biaya yang lebih rendah, RDF hanya bisa menangani 2.000 ton sampah setiap hari, dengan komposisi 1.000 ton sampah lama dan 1.000 ton sampah baru.
Dia menganggap, idealnya ada empat RDF lagi yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta.
“Saya pikir empat RDF bisa untuk menggantikan ITF, ini kalau ITF tidak jalan ya. Kemudian lokasi RDF yang kemarin itu (di TPST Bantargebang) sekitar 6-7 hektar yang dibeli hampir sama dengan ITF, pembiayaannya justru lebih murah dan tidak perlu bayar tipping fee,” jelasnya.