Jawaban Oditur Militer Soal Tim Penasihat Hukum Kolonel Priyanto Ragukan Keterangan Dokter Forensik

Oditurat Militer Tinggi II Jakarta menanggapi duplik dari tim penasihat hukum Kolonel Inf Priyanto.

Penulis: Bima Putra | Editor: Jaisy Rahman Tohir
Bima Putra/TribunJakarta.com
Oditur Militer Tinggi II Jakarta Kolonel Sus Wirdel Boy saat memberi keterangan di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (17/5/2022). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, CAKUNG - Oditurat Militer Tinggi II Jakarta menanggapi duplik dari tim penasihat hukum Kolonel Inf Priyanto dalam perkara dugaan pembunuhan berencana sejoli Nagreg.

Yakni terkait isi duplik tim penasihat hukum Priyanto yang meragukan hasil autopsi jenazah Handi Saputra (17) dalam Visum et Repertum dibuat dokter forensik Muhammad Syamsu Hidayat.

Oditur Militer Tinggi II Jakarta Kolonel Sus Wirdel Boy mengatakan dalam laporan visum dan keterangan saat Zaenuri diperiksa jadi saksi ahli memang tidak terdapat waktu kematian Handi.

Tapi dalam laporan Visum et Repertum yang jadi barang bukti perkara dan keterangan Zaenuri saat diperiksa sebagai ahli dijelaskan bahwa Handi masih hidup saat dibuang Priyanto ke Sungai Serayu.

"Keterangan ahli tidak pernah menyampaikan kapan waktu secara valid meninggal. Tapi penyebab meninggal. Itu bisa dikutip lagi dari visumnya bahwa penyebab mati karena tenggelam," kata Wirdel, Selasa (24/5/2022).

Baca juga: Perkara Sejoli Nagreg, Kolonel Priyanto Bakal Dijatuhi Vonis Pada 7 Juni 2022

Menurutnya seorang dokter forensik yang keterangan dibutuhkan dalam kasus pidana hanya bisa memperkirakan waktu kematian lewat proses autopsi, bukan memastikan waktu kematian.

Dalam hal ini Zaenuri menyampaikan hasil autopsi lewat laporan Visum et Repertum dan keterangan sebagai ahli bahwa Handi dalam keadaan tidak sadar atau masih hidup ketika dibuang.

Dia kembali menyinggung bahwa secara hukum penentuan kematian seseorang diatur lewat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 37 tahun 2014 sehingga tidak dilakukan sembarang.

Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2014, dia menjelaskan bahwa pada Pasal 5 ayat 2 maka tenaga medis yang dapat menentukan kematian diutamakan dokter.

Kemudian dalam Pasal 5 ayat 2 dijelaskan penentuan kematian dalam kasus tidak ada dokter dapat dilakukan perawat dan bidan, dan pada Pasal 6 dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan lain.

Pasir halus yang berada di tenggorokan sejoli Nagreg dijadikan celah bagi kuasa hukum untuk meloloskan Kolonel Priyanto dalam kasus pembunuhan berencana.
Pasir halus yang berada di tenggorokan sejoli Nagreg dijadikan celah bagi kuasa hukum untuk meloloskan Kolonel Priyanto dalam kasus pembunuhan berencana. (Kolase Tribun Jakarta)

"Mengenai kematian seseorang secara fisik itu memang bisa dilihat secara fisik oleh siapapun. Akan tetapi secara yuridis (hukum) kematian diatur oleh Permenkes," ujarnya.

Wirdel menuturkan keterangan dokter Zaenuri sebagai ahli forensik yang menyatakan Handi Saputra masih hidup sebelum dibuang tidak dapat dibantah hanya berdasar anggapan.

Sementara tim penasihat hukum Priyanto menyebut Handi dalam keadaan meninggal sebelum dibuang berdasar anggapan klien mereka dan Koptu Ahmad Soleh, Kopda Andreas Dwi Atmoko.

Dua anak buah Priyanto yang ikut jadi terdakwa dan turut disangkakan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana namun berkas perkaranya terpisah dengan Priyanto.

"Pada waktu dia jadi dokter forensik itu dia disumpah. Jadi semua keterangan yang diberikan itu di bawah sumpah dan itu pro justitia (demi hukum) tidak bisa dibantah di persidangan," tuturnya.

Sebelumnya, Anggota tim penasihat hukum Priyanto, Lettu Chk Feri Ashandi pihaknya mempertanyakan keterangan ahli dokter forensik Muhammad Zaenuri Syamsu Hidayat dalam Visum et Repertum.

Yakni bahwa Handi Saputra (17) masih hidup saat dibuang ke Sungai Serayu oleh Priyanto, Kopda Andreas Dwi Atmoko, dan Koptu Ahmad Soleh lalu meninggal akibat tenggelam di Sungai Serayu.

Menurut tim penasihat hukum Priyanto, hasil autopsi Zaenuri berupa laporan visum tidak bisa menentukan waktu kematian korban sehingga tidak bisa jadi dasar menentukan Handi masih hidup.

"Dari keterangan saksi nomor 22 (Zaenuri) menyebutkan bahwa kematian korban Mr. X (Handi) berjenis kelamin laki-laki sulit ditentukan," kata Feri menyampaikan duplik di ruang sidang.

Menurut tim penasihat hukum, terdapat keraguan Zaenuri yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Oditur Militer dan jadi dasar Oditur merumuskan dakwaan serta tuntunan pembunuhan berencana.

Dalam hal ini, tim penasihat mempertanyakan hasil autopsi jenazah Handi yang menyatakan korban tewas tenggelam karena ditemukan pasir halus pada rongga tenggorokan.

"Timbul pertanyaan mengenai hasil visum yang menerangkan terdapat pasir halus menempel di dinding rongga tenggorokan. Apakah pasir halus tersebut masuk saat korban tertabrak mobil," ujarnya.

Tim penasihat hukum Priyanto menilai ada kemungkinan pasir halus yang ditemukan saat autopsi masuk saat Handi dan Salsabila (14) ditabrak mobil dinaiki Priyanto di Jalan Raya Nagreg.

Bukan masuk ke tenggorokan karena Handi masih hidup saat dibuang ke Sungai Serayu sebagaimana keterangan Zaenuri merupakan satu-satunya saksi ahli dalam sidang perkara.

"Sehingga korban jatuh ke jalan dan menghirup debu dan pasir halus. Karena memang terlihat saat olah TKP kondisi jalan raya tempat laka lalin ada debu dan pasir halus," tutur Feri.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved