LRT Jabodebek Disebut Salah Konsep hingga Berpotensi Rugikan Negara
Proyek LRT Jabodebek dinilai tidak efektif dan efisien sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat dan berpotensi merugikan keuangan negara.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA – Proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta Bogor Depok Bekasi (Jabodebek) dinilai tidak efektif dan efisien sehingga kurang bermanfaat bagi masyarakat dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Menurut pemerhati transportasi logistik Bambang Haryo Soekartono, LRT Jabodebek tidak efektif karena salah fungsi dan penempatan.
Jalur LRT itu dibangun menghubungkan antarkota layaknya fungsi kereta komuter atau KRL (kereta rel listrik), padahal kapasitas angkutnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan KRL.
“Tidak ada negara di dunia yang bangun LRT untuk angkutan antarkota, sebab moda ini umumnya dibangun di kawasan tertentu yang spesifik di dalam kota. Jaraknya lebih pendek dari MRT dan banyak pemberhentian atau stasiun," kata Bambang Haryo dalam keterangan persnya, Jumat (3/6/2022).
"Membangun LRT untuk antarkota tidak akan efektif dan pasti mahal, seperti halnya yang ada di Indonesia, yaitu Lintasan LRT Jabodebek antar kota yang memiliki jarak 44,3 km,” ungkapnya.
Bambang Haryo memberikan contoh, di Singapura terdapat tiga jalur LRT yang semuanya dibangun di dalam kawasan tertentu, yakni jalur Bukit Panjang 7,6 km di kawasan industri dan agrikultur, Sengkang 10,7 km di pusat permukiman, dan Panggol 10,3 km di new town dan wisata.
Baca juga: Pembahasan Mandek, Gubernur Anies Minta DPRD Segera Setujui Tarif Integrasi Transjakarta MRT LRT
Sedangkan panjang jalur MRT di negara tersebut itu mencapai 216 km yang dilayani rangkaian gerbong lebih banyak dan lebih besar.
Fungsi daripada MRT menjadi transportasi Hub (utama) didalam kota yang terkonektivitas (terangkai) dengan transportasi LRT dikawasan tertentu dalam kota.

Demikian juga diseluruh negara di dunia seperti itu, tidak seperti di Indonesia yang berlaku sebaliknya.
LRT Jabodebek yang dibangun sejak 2015 itu menelan biaya hingga Rp32,5 triliun.
Biaya ini bengkak Rp2,6 triliun dari target penyelesaian pada tahun 2019 sebesar Rp29,9 triliun padahal rencana awal hanya sekitar Rp23 triliun.
Kenaikan biaya tersebut sangat fantastis dan terkesan menggunakan perhitungan yang asal - asalan karena pengaruh kurs dollar dari 2015 ke 2019 kenaikannya tidak signifikan.
“Pembengkakan biaya dan mundurnya penyelesaian proyek LRT tersebut perlu dilakukan analisa dan evaluasi karena investasinya juga kurang transparan ada biaya - biaya yang langsung dianggarkan melalui BUMN Karya,” kata Bambang Haryo.
Baca juga: Transjakarta, KRL hingga LRT Disiapkan untuk Angkut Penonton ke Stadion JIS
Negara terancam rugi besar karena mundurnya penyelesaian proyek LRT tersebut, juga salah satunya akibat penyelesaian rangkaian gerbong kereta di 2019 belum bisa dioperasikan karena infrastruktur rel keretanya belum siap, sehingga terjadi idle atau kapasitas menganggur, ini akan merugikan operator PT. KAI serta masyarakat calon pengguna LRT tersebut.
Apalagi hingga Mei 2022, Presentase penyelesaian pembangunan 18 stasiun LRT masih berkisar 70-80 % .