BKSAP Ungkap Indonesia Pegang Teguh Komitmen Capai Emisi Nol Bersih pada 2060

BKSAP DPR RI menyebut Indonesia memegang teguh komitmen memberantas perubahan iklim guna mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Istimewa
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Putu Supadma Rudana. BKSAP DPR RI menyebut Indonesia memegang teguh komitmen memberantas perubahan iklim guna mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI menyebut Indonesia memegang teguh komitmen memberantas perubahan iklim guna mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Demikian dikatakan Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Putu Supadma Rudana dalam keterangan tertulis, Jumat (6/10/2022).

Putu Supadma Rudana mengungkapkan parlemen juga memiliki peran menghadapi climate change.

Hal itu disampaikan Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat ini dalam 2nd Session Parliamentary Forum in The Context of The G20 Parliamentary Speaker’s Summit (P20) di Gedung DPR, Kompleks Senayan.

“Komitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, sebagaimana ditegaskan dalam KTT Perubahan Iklim COP-26 yang diadakan di Glasgow tahun lalu, melalui pembangunan rendah karbon (PRK) sebagai tulang punggung strategi pemulihan yang akan membawa Indonesia menuju ekonomi hijau,” kata Putu.

Baca juga: Wakil Ketua BKSAP Sampaikan Peran Parlemen Indonesia Hadapi Perubahan Iklim di P20

Putu menyampaikan tantangan perubahan iklim dan dampak buruknya, Indonesia di tingkat internasional telah menunjukkan komitmennya dengan mendukung dan meratifikasi berbagai perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Paris (Paris Agreement) melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Kemudian Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change), melalui UU Nomor 6 Tahun 1994; dan Protokol Kyoto, melalui UU Nomor 17 Tahun 2004.

Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Putu Supadma Rudana dalam 2nd Session Parliamentary Forum in The Context of The G20 Parliamentary Speaker's Summit (P20) dengan tema
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Putu Supadma Rudana dalam 2nd Session Parliamentary Forum in The Context of The G20 Parliamentary Speaker's Summit (P20) dengan tema "How can parliaments help reach emission reduction targets and facilitate global cooperation on climate change in timer of multiple crises?" (Istimewa)

“Karena komitmen internasionalnya, Indonesia juga telah mengadopsi tujuan yang ambisius namun dapat dicapai,” imbuh Putu.

Untuk itu, kata Putu, rencana pembangunan jangka menengah masional (RPJMN) 2020-2024 yang mengintegrasi rencana pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 27,3 persen pada tahun 2024 – meningkat 1,3 persen dari rencana 2015-2019.

“Menerbitkan Nationally Determined Contribution (NDC), yang menetapkan target tanpa syarat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persem dan target bersyarat sebesar 41 persen (dengan dukungan internasional), dibandingkan terhadap skenario business as usual tahun 2030,” tuturnya.

Ia menegaskan bahwa parlemen memiliki peran yang krusial dalam perumusan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim, melalui tiga fungsi utamanya yaitu legislatif, penganggaran dan pengawasan.

Dalam konteks ini, kita harus memastikan bahwa undang-undang atau tindakan tentang perubahan iklim bersifat inklusif.

Baca juga: Wakil Ketua BKSAP DPR RI: G20-P20 Momen Cari Solusi Selesaikan Tantangan Global

“Dan sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan tiga pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, yang dimana sangat penting selama fase pemulihan pandemi COVID-19,” ujar Putu.

Untuk mencapainya, Putu berpandangan bahwa anggota parlemen harus mengintegrasikan pendekatan berbasis hak asasi manusia terhadap perubahan iklim, mengarusutamakan dan meningkatkan visibilitas prinsip-prinsip hak asasi manusia non-diskriminasi, kesetaraan, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.

“Selain mendukung resolusi dan deklarasi tentang aksi iklim di forum internasional seperti Interparliamentary Union (IPU), saya selalu menganjurkan filosofi tersebut, karena akan memiliki manfaat sosial-ekonomi dan lingkungan yang signifikan bagi rakyat kita di rumah,” katanya.

Politikus asal Bali itu mengatakan masyarakat juga harus didorong untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam kegiatan terkait aksi iklim. Dalam konteks ini, Bali memiliki kearifan lokal (kearifan lokal) yang selalu dijunjung tinggi yaitu filosofi Tri Hita Karana.

Menurut dia, filosofi ini mendefinisikan hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan alam, dan manusia dan sesama manusia. Tuhan menciptakan alam juga untuk dijaga. Alam harus dihormati, dilindungi dan dilestarikan.

“Salah satu strateginya adalah memastikan partisipasi dan kontribusi manusia dalam aksi iklim, yang tidak hanya akan menguntungkan planet ini tetapi juga ekonomi,” kata Putu.

Kemudian, lanjut Putu, ada Hari Raya Nyepi sebagai bagian implementasi filosofi tradisional, yang mengharuskan masyarakat mematikan lampu dan tidak menggunakan peralatan elektronik selama 24 jam.

"Kami juga memiliki Subak. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat dijadikan pedoman bagi kita untuk melakukan mitigasi perubahan iklim,” jelasnya.

Namun demikian, Putu mengakui bahwa tidak ada negara yang dapat menghadapi krisis iklim dengan sendirinya. Makanya, ia memandang prinsip penuh rasa tanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan masing-masing masih harus diterapkan secara penuh dan efektif.

Dalam konteks ini, ia menyebut Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar Rp3.416 triliun untuk mengatasi perubahan iklim pada tahun 2030, dan Rp28.223 triliun untuk mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2060.

Selain anggaran negara (APBN), upaya perubahan iklim juga didanai melalui Green Sukuk, obligasi syariah yang berkontribusi pada proyek terkait lingkungan. Dari 2018-2021, penerbitan Sukuk hijau global berjumlah sekitar USD 3,5 miliar, dan telah berhasil mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 10,3 juta ton dari 2018 hingga 2020.

"Indonesia juga telah berhasil, antara lain, mendapatkan sekitar USD103,8 juta dari Green Climate Fund (GCF) untuk proposal REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) Reduction Based Payment (RBP)," ucapnya.

Untuk itu, Putu mengatakan negara maju harus terus membantu negara berkembang dalam aksi iklim mereka, termasuk dalam upaya mitigasi dan adaptasi. Ini termasuk memenuhi komitmen pendanaan iklim sebesar USD100 miliar per tahun hingga tahun 2025, seperti yang dibayangkan oleh Nusa Dua Declaration, yang disahkan di Sidang Umum IPU ke-144.

"Negara-negara berkembang juga harus berkontribusi pada upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sesuai dengan agenda global yang disepakati dan berdasarkan kapasitas dan kemampuan nasional mereka," tandasnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved