Kantor Heru Budi di Balai Kota Digeruduk Massa Lagi, 2 Hal Ini Jadi Tuntutan Utama Buruh
Massa buruh demonstrasi di depan Kantor Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (18/11/2022), bawa 2 tuntutan.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Wahyu Septiana
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Massa buruh melakukan demonstrasi di depan Kantor Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (18/11/2022).
Pantauan TribunJakarta.com, massa buruh yang tergabung dalam berbagai organisasi ini sudah tiba di Balai Kota DKI sejak pukul 10.30 WIB.
Dilengkapi dengan satu mobil komando, orasi unjuk rasa baru dimulai pukul 11.00 WIB.
"Kita akan melaksanakan salat Jumat di depan Balai Kota DKI kemudian dilanjut dengan rangkaian unjuk rasa," ucap orator dari atas mobil komando.
Adapun dua tuntutan yang disuarakan para buruh yakni naikan UMP 2023 DKI Jakarta sebesar 13 persen dan menolak PHK dengan alasan resesi global.
"Kita menuntut Pj Gubernur UMP 2023 nanti ditetapkan sesuai kebutuhannya. Jangan sampai ada polemik lagi," lanjut orator.
Buruh Minta Kenaikan UMP DKI di Atas Inflasi
Baca juga: Pekan Ini Buruh Kembali Demo di Balai Kota, Tuntut UMP DKI 2023 Naik 13 Persen
Pemprov DKI Jakarta terus menggodok besaran upah minimum provinsi (UMP) yang akan diterapkan pada 2023 mendatang.
Pembahasan pun terus dilakukan lewat Dewan Pengupahan dengan turut melibatkan pengusaha dan perwakilan buruh.
Terkait Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh pun menegaskan menolak penetapan UMP tahun 2023 dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2022.

Presiden KSPI dan Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, ada beberapa alasan PP 36/2021 tak bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk menetapkan UMP tahun depan.
Alasan pertama, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusional (MK).
Oleh karena itu, PP 36/2021 yang merupakan UU Cipta Kerja tidak bisa digunakan sebagai acuan dalam menetapkan UMP 2023.
"Karena PP 36/2021 tidak digunakan sebagai dasar hukum, maka ada dua dasar yang bisa digunakan," ucapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (17/11/2022).
Dasar pertama adalah menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015, di mana kenaikan UMP dihitung dari inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Demo Buruh Tuntut Kenaikan UMK 2023 di Kantor Disnaker Kota Bekasi: Gerbang Roboh, Petugas Cidera
Namun, bisa juga Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Permenaker khusus untuk menetapkan UMP/UMK 2023 yang kemudian akan menjadi rujukan daerah menetapkan upah minimum.
Said Iqbal pun membeberkan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan upah yang tidak naik selama tiga tahun berturut-turut menyebabkan daya beli buruh turun hingga 30 persen.
Oleh karena itu, PP 36/2021 tidak dapat digunakan, lantaran daya beli buruh yang turun itu harus dinaikkan dengan menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sebab, ba menggunakan PP 36/2021, maka nilai kenaikan UMP akan berada di bawah inflasi, sehingga daya beli buruh akan semakin terpuruk.
Alasan selanjutnya, inflasi secara umum berada di angka 6,5 persen, sehingga pemerintah harus menyesuaikan antara harga barang dan kenaikan upah.
"Kalau menggunakan PP 36, kenaikannya hanya 2 sampai 4 persen, ini maunya Apindo (pengusaha). Mereka tidak punya akal sehat dan hati, masak naik upah di bawah inflasi," ujarnya.
Ia pun menyebut, perhitungan pengupahan menggunakan PP 36/2021 yang dijadikan alasan pengusaha akan terjadi resesi global dan adanya 25 ribu buruh di PHK itu adalah cerita bohong.
Pasalnya, berdasarkan data yang ada, resesi tidak terjadi di Indonesia.
"Resesi itu terjadi jika dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif. Sedangkan saat ini pertumbuhan ekonomi kita selalu positif," tuturnya.
Ia pun menyebut, besaran inflasi Indonesia yang berkisar di angka 6,5 persen inflasi umum.
Secara khusus, konsumsi yang kenaikannya signifikan adalah makanan yang naik 15 persen, sektor transportasi naik lebih dari 30 persen, dan sewa rumah sebesar 12,5 persen.
“Litbang Partai Buruh memprediksi, pertumbuhan ekonomi bisa berkisar rata-rata 4 sampai 5 persen Januari hingga Desember 2022," katanya.

"Kalau inflasi 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi 4 sampai 5 persen, yang paling masuk akal angka kompromi kenaikan UMP/UMK adalah di atas 6,5 persen hingga 13 persen,” sambungnya.
Dengan kata lain, kenaikannya harus lebih tinggi dari angka inflansi dan ditambah dengan alfa (atau pertumbuhan ekonomi).
Bila pemerintah tetap ngotot menggunakan PP Nomor 36/2021, buruh mengancam akan melakukan aksi bergelombang dan besar.
Bahkan, Said Iqbal mengancam akan melakukan mogok nasional pada pertengahan Desember mendatang.
Diperkirakan kurang lebih lima juta buruh di seluruh Indonesia bakal melakukan aksi mogok ini.
“Puluhan pabrik akan stop berproduksi, kalau Apindo dan pemerintah memaksakan. Kami yakin Menteri Tenaga Kerja menggunakan dasar-dasar yang rasional, tidak menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021, tapi PP Nomor 78 Tahun 2015 ” tuturnya.