Anak Pejabat Pajak Aniaya Pemuda
Hak Mario Dandy Dinilai Layak Dicabut Jika Tak Bayar Restitusi, Tidak Usah Dapat Remisi & Asimilasi
Kuasa hukum David Ozora, Mellisa Anggraini, menilai Mario Dandy Satriyo layak dicabut sejumlah haknya jika tidak membayar restitusi.
Penulis: Annas Furqon Hakim | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Annas Furqon Hakim
TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU - Kuasa hukum David Ozora, Mellisa Anggraini, menilai Mario Dandy Satriyo layak dicabut sejumlah haknya jika tidak membayar restitusi.
Ia mengatakan, restitusi merupakan tanggung jawab moral terhadap David yang hingga kini belum juga pulih setelah dianiaya secara brutal oleh Mario.
"Kami juga berharap karena tidak ada tanggung jawab moral terkait restitusi, ini juga akan menjadi pemberatan yang lainnya," kata Mellisa kepada wartawan, Rabu (9/8/2023).
Mellisa mengungkapkan, beberapa hak Mario Dandy yang layak dicabut yaitu hak mendapatkan remisi dan asimilasi.
"Bahkan kami melihat layak-layak saja terhadap Mario Dandy ini dicabut hak-haknya tertentu, seperti sudah dia nggak usah dapat remisi, nggak usah dapat asimilasi," ujarnya.
"Bahwa dengan adanya remisi, asimilasi, ini hukumannya juga tidak akan sepenuhnya dia jalani. Sementara secara moral dia tidak bertanggung jawab dengan kondisi korban yang sudah sedemikian rupa," tambah Mellisa.
Sebelumnya, LPSK menyatakan biaya restitusi yang diajukan mencapai Rp 120 miliar dan ditujukan kepada terdakwa Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas, serta terpidana anak AG (15).
Hal itu diungkapkan Ketua Tim Penghitung Restitusi LPSK Abdanev Jova saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara penganiayaan berat berencana terhadap Cristalino David Ozora di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (20/6/2023).

Abdanev mengatakan, ayah David, Jonathan Latumahina, mulanya mengajukan surat permohonan restitusi kepada LPSK pada 17 Maret 2023.
"Yang dimohonkan itu jumlahnya Rp 50 miliar sekian. Permohonannya (berisi) identitas, kronologi, kemudian beberapa bukti," kata Abdanev dalam kesaksiannya.
Namun, berdasarkan penghitungan LPSK, Abdanev mengungkapkan biaya restitusi yang harus dibayarkan yaitu sebesar Rp 120 miliar lebih.
"Dan dari permohonan itu, total penghitungan kewajaran LPSK Rp 120.388.911.030," ungkap dia.
Ia memaparkan, LPSK menghitung biaya restitusi berdasarkan tiga komponen; ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, perawatan ganti atas perawatan medis psikologis, dan penderitaan.
Dalam surat permohonan yang dibuat Jonathan, ganti rugi atas hilangnya kekayaan jumlahnya mencapai Rp 40 juta.
Namun, penghitungan LPSK atas komponen pertama itu hanya Rp 18.162.000.
"Kemudian komponen pergantian biaya perawatan medis atau psikologis dari Rp 1.315.545.000, tim menilai Rp 1.315.660.000," papar Abdanev.
Pada komponen penderitaan, dari jumlah awal Rp 50 miliar yang dimohonkan Jonathan, penghitungan kewajaran LPSK mencapai Rp 118 miliar lebih.
Hakim kemudian bertanya bagaimana LPSK merinci biaya restitusi pada komponen penderitaan.
Abdanev menuturkan, LPSK menyadari komponen penderitaan yang dialami David tidak dapat digantikan dengan uang.
"Tim berangkat dari saat itu informasi dari dokter korban David mengalami diffuse axonal injury. Kemudian tim mencari rujukan, salah satunya melalui misal beberapa di internet, bahwa hasil komunikasi dengan dokter hasil rujukan diffuse axonal injury stage dua ini hanya 10 persen saja yang sembuh," tutur dia.
Mengingat tingkat kesembuhan David hanya 10 persen, LPSK menilai ada potensi penderitaan yang lebih besar.
"Tim berpendapat perhitungan merujuk dari umur, ini data BPS Provinsi DKI Jakarta, rata-rata hidup itu 71 tahun. Kemudian 71 tahun ini dikurangi dengan umur korban 17 tahun. Artinya ada proyeksi selama 54 tahun korban ini menderita. Maka angka 54 tahun dikalikan Rp 2 miliar berdasarkan dari RS Mayapada dan hasilnya adalah Rp 118.104.480.000," pungkas Abdanev.
Baca artikel menarik TribunJakarta.com lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.