Jokowi Temui Sri Sultan Hamengku Buwono X, Ini Makna Lokasi, Hari dan Batik Menurut Roy Suryo
Kerabat Pakualaman, KRMT Roy Suryo menganalisa makna lokasi, hari dan batik saat pertemuan Jokowi dengan Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X.
TRIBUNJAKARTA.COM - Kerabat Pakualaman Ngayogyakarta Hadiningrat, KRMT Roy Suryo menganalisa makna lokasi, hari dan batik saat pertemuan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dengan Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sri Sultan HB X menerima Jokowi di Kediaman Pribadi Sultan, Keraton Kilen Yogyakarta, Rabu (15/1/2025) pagi.
Menanggapi hal tersebut, awalnya Roy Suryo tidak ingin menanggapi pertemuan tersebut.
Namun karena banyaknya pertanyaan kepada dirinya selaku Kerabat Puro Pakualaman, salahsatu bagian dari "Catur Sagatra" Trah Kerajaan Mataram.
Maka, ia menulis artikel mengenai makna lokasi, hari dan batik pertemuan Sri Sultan HB X dengan Jokowi agar bisa dimaknai secara komprehensif, faktual dan ilmiah.
Berikut artikel Roy Suryo:
Sedikit sebagai referensi pambuko atau proloque, Dulu Kerajaan Mataram di Jawa wilayahnya luas dan pengaruhnya cukup besar di masyarakat, sehingga Pihak Penjajah merasa perlu untuk "memecah"-nya dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Awal dari munculnya ide perjanjian (pemecahan) ini adalah Pihak penjajah memanfaatkan konflik internal didalam Kerajaan Mataram, utamanya pasca wafatnya Amangkurat IV. Konflik tersebut antara lain terjadi antara Sri Susuhunan Pakubowono III,, Pangeran Mangkubumi (saudara Susuhunan) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa).
Penjajah mendukung Pakubuwono sebagai penguasa Mataram, meskipun sebagian besar wilayah kerajaan berada di bawah penguasaan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.
Sehingga Mangkubumi merasa tidak diperlakukan adil oleh Susuhunan dan Penjajah, sehingga memulai pemberontakan yang berlangsung selama hampir 10 tahun (1746–1755).
Untuk mengakhiri konflik, dimediasi perundingan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III. Hal ini menghasilkan Perjanjian Giyanti.
Bertenpat di desa Giyanti, Karanganyar, pada Hari Kamis Kliwon tanggal 13/02/1755 disepakati Perjanjian yang sangat bersejarah bagi masa depan Kerajaan Mataram, karena selanjutnya Mataram dipecah menjadi Kraton Kasunanan Surakarta dibawah Sunan Pakubuwana III dan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dibawah Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Dalam perkembangan Tanggal 17/03/1757 Kasunanan menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sementara Tanggal 17/031813 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga menjadi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.
Meski sudah berjalan sendiri-sendiri selama lebih kurang 270 tahun, keempat bagian Kraton Mataram ini masih tetap eksis sampai dengan sekarang, dengan masing-masing Raja (asli) dan Adipatinya masing-masing, yakni Sri Susuhunan Paku Buwana XIII di Kraton Kasunanan Surakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Mangkunegara X di Pura Mangkunegaran dan Sri Paku Alam X di Pura Pakualaman.
Secara khusus berdasarkan UU Keistimewaan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) No 13/2012 Sri Sultan dan Sri Paku Alam langsung ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa memerlukan Pilkada.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.