Saat Dedi Mulyadi dan Pramono Anung Saling Sindir Masalah Macet dan Banjir, Bicara Soal Siklus Alam

Saat Dedi Mulyadi dan Pramono Anung Saling Sindir Masalah Macet dan Banjir, Bicara Soal Siklus Alam

TribunJakarta/Instagram Dedi Mulyadi
BANJIR DAN MACET - Saat Dedi Mulyadi dan Pramono Anung Saling Sindir Masalah Macet dan Banjir, Bicara Soal Siklus Alam 

TRIBUNJAKARTA.COM - Macet dan banjir nampaknya masih jadi masalah yang sulit diatasi di kota besar seperti Jakarta dan Jawa Barat.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, saling singgung mengenai masalah tersebut.

Pramono menyebut kota termacet saat ini bukanlah Jakarta, melainkan Bandung yang ada di Provinsi Jawa Barat.

Hal itu dikatakan Pram di depan sejumlah kepala daerah lain dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Kamis (10/7/2025).

 “Jakarta yang biasanya ranking satu di Indonesia dan selalu kota termacet sepuluh besar di dunia, boleh dibuka, sekarang nomor satunya Bandung. Mumpung Pak Gubernur Jawa Baratnya belum ada,” ucap Pram.

Berdasarkan data TomTom Traffic Index, kota termacet di Indonesia adalah Bandung, dan disusul posisi kedua Medan, lalu Palembang, dan Surabaya.

Sementara kota Jakarta, berada di posisi ke-5. Pramono menyebut, penurunan kemacetan di Ibu Kota disebabkan oleh meningkatnya minat warga untuk menggunakan transportasi umum.

Apalagi setiap hari Rabu kini seluruh ASN di Jakarta diwajibkan naik transportasi umum. 

“Saya mikirnya begini, ini jangan-jangan surveinya pada pas hari Rabu. Kan hari Rabu saya paksa semua ASN naik kendaraan umum,” ungkap Pramono.

Kebijakan transportasi umum wajib tiap Rabu oleh Pemprov DKI Jakarta itu, disebutnya berdampak signifikan pada penurunan kemacetan.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menanggapi permasalahan banjir di Jakarta yang belum terselesaikan.

Sebelumnya, Pramono juga sempat menyebut banjir Jakarta salah satunya disebabkan karena kiriman aliran air dari Bogor.

Argumen ini pun lalu dibantah oleh Dedi Mulyadi, yang menyinggung soal siklus alam.

“Enggak ada banjir kiriman dari Bogor. Air itu mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah, itu aspek siklus alam,” kata Dedi.

Dedi menyoroti pentingnya penataan di hilir.

Meski demikian, Dedi mengakui bahwa perubahan alih fungsi lahan dan persoalan tata ruang di wilayah Bogor turut memberikan kontribusi terhadap kondisi lingkungan saat ini. 

Akan tetapi menurutnya, sebagian besar pelaku di balik perubahan tata ruang tersebut bukan berasal dari wilayah setempat.

“Kalau mau kita jujur, perubahan alih fungsi lahan dan tata ruang di Bogor juga kan para pengusahanya dari mana. Gitu lho,” ujarnya.

Ia pun menyebut, Bendungan Ciawi yang dibangun sebagai infrastruktur pengendali banjir Jakarta, fungsinya hanya bersifat sementara untuk menahan air.

“Bendungan Ciawi itu kan merupakan bendungan yang airnya mampir, terus kan jalan. Itu kan diperlukan langkah-langkah hilirisasinya. Hilirnya harus segera ditata,” kata Dedi.

Lebih lanjut, ia pun menilai banjir akan tetap menjadi ancaman selama kondisi sungai tidak ditangani menyeluruh. 

“Selama sungainya masih dangkal, selama sungainya masih sempit, selama rawa-rawa terus diuruk untuk pembangunan, banjir pasti akan terus terjadi,” katanya.

Untuk saat ini kata Dedi, Pemprov Jawa Barat tengah berupaya untuk menata sungai di bagian hulu.

Namun ia menekankan proses pemulihan lingkungan tak bisa dilakukan sendiri melainkan juga butuh kerja sama dari berbagai pihak.

“Recovery lingkungan itu lebih mahal dari pembangunan. Nah tentunya tidak bisa jalan sendiri, harus semua orang bekerja sama untuk concern menyelesaikan lingkungan,” tandasnya.

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved