Viral di Media Sosial

Pengakuan Remaja asal Jakarta Barat Jadi Joki Strava: Maksimal 2 Orang, HP Pelanggan Dibawa Lari

Salah satu remaja asal Jakarta Barat, Jason (16), menjalani joki Strava sejak beberapa bulan yang lalu.

Kompas.com/Faesal Mubarok dan Shutterstock
FENOMENA JOKI STRAVA - Remaja asal Jakarta Barat, Jason (16), menjadi joki Strava. Ia membatasi orang yang ingin menggunakan jasanya sebanyak 2 orang. (Kompas.com/Faesal Mubarok dan Shutterstock). 

"Misalkan minta tolong pace empat ya bisa sampai Rp 300 ribu setara lima kilometer," lanjut Jason.

Ia mengaku menjalani jasa joki Strava setiap Minggu jika ada teman atau orang yang minta.

"Setiap Minggu saja kalau ada yang pengin, kalau ada yang minta," katanya. 

Lebih lanjut, ia setiap menawarkan jasanya maksimal hanya dua orang.

Nanti para pelanggan menitipkan handphone yang dibawa saat olahraga lari.

"Mereka nitip handphone ke saya nanti saya bawa lari," jelasnya.

Penjelasan Sosiolog

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono mengatakan, fenomena joki Strava ini berorientasi pada pengakuan atas suatu pencapaian.

Menurutnya, proses pengakuan atas pencapaian seseorang yang dianggap kompeten dalam suatu tindakan disebut sebagai kredensialis.

Dia menjelaskan, masyarakat saat ini justru akan lebih tertarik dengan simbol, berupa angka pencapaian di Strava, meskipun tidak selaras dengan kemampuan fisik seseorang.

"Harusnya antara kompetensi lari dengan simbol yang tertulis, tidak berjarak. Artinya, saya benar-benar kuat lari, di Strava itu ditulis apa adanya," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/7/2024).

"Tetapi, faktanya orang itu tertarik bukan pada kemampuan larinya, tetapi pada apa yang tertulis di Strava," sambungnya.

Drajat menuturkan, ketidakpedulian terhadap terhadap orang yang memiliki kemampuan itu memberikan jarak antara realitas dan simbol.

Joki kemudian mengisi jarak kekosongan itu dengan menawarkan sebuah jasa.  

"Jadi joki itu mengisi jarak ketidakpedulian pada siapa yang lari. Dia tidak peduli simbol itu, simbol inilah yang dibeli orang lain," jelas dia.

Kendati demikian, Drajat menilai bahwa tren tersebut kemungkinan tidak bertahan lama, karena berolahraga dan mencapai status tertentu bukanlah kebutuhan dasar, seperti ketika membutuhkan ijazah di dunia pendidikan.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved