Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Pasang Kubus Apung Buat Tahan Aliran Busa di Kanal Banjir Timur
DLH DKI Jakarta pasang kubus apung di aliran Kanal Banjir Timur (Kali BKT) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (13/8/2025).
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, CILINCING - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta memasang kubus apung di aliran Kanal Banjir Timur (Kali BKT) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (13/8/2025).
Langkah ini dilakukan untuk melokalisasi penyebaran busa yang kerap mencemari permukaan air di kawasan tersebut.
Kubus apung dipasang di dekat Pintu Air Weir-3 Marunda, dengan tujuan menahan busa agar tidak menyebar terlalu jauh.
Analis Lingkungan DLH DKI Jakarta Ria Triany mengatakan, pemasangan kubus apung ini mampu membatasi area busa menjadi sekitar 100 meter dari pintu air.
"Jadi kita lokalisir, busa hanya sampai kurang lebih ini 100 meter. Karena biasanya terjadi sampai 400 meter, ini kurang lebih panjangnya 400 meter ke sana. Jadi kita lokalisir di sini 100 meter, sebelum 100 meter ini adalah maksimum," ucapnya di lokasi.
Pemasangan kubus ini sebagai penanganan jangka pendek terkait masalah busa di kali BKT.
Pemasangan kubus apung ini melengkapi metode penanganan busa yang telah dilakukan sebelumnya.
"Jadi kalau bisa pada saat busa muncul, jangan sampai tertiup angin, gitu ya. Jadi kita sudah menanggulanginya secara cepat," ucap Ria.
Selain pemasangan kubus apung, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga sudah melakukan simulasi penanganan busa dengan penyemprotan cairan mikroorganisme oleh Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta.
Penyemprotan dilakukan untuk memecah busa di permukaan air, meski proses biologisnya membutuhkan waktu lebih lama untuk memulihkan kualitas air.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyebut, busa terbentuk akibat tingginya pencemaran organik yang ditunjukkan oleh nilai Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD).
Selain itu, limbah rumah tangga, terutama sabun dan deterjen yang mengandung surfaktan sintetis, juga menjadi penyebab utama.
"Kondisi turbulen di pintu air akibat perbedaan elevasi permukaan membuat udara terjebak di dalam air, sehingga memperbanyak dan mempertahankan busa," jelas Asep dalam keterangan persnya.
Selain melakukan penyemprotan, Dinas Lingkungan Hidup juga memasang kubus apung yang berfungsi untuk melokalisasi penyebaran busa.
Di luar penanganan darurat, Asep menekankan pentingnya pencegahan jangka panjang.
Salah satunya melalui penertiban pelaku usaha yang diwajibkan memiliki Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) atau dokumen wajib bagi usaha berskala kecil, dengan luas lahan terbangun di bawah 1 hektare atau bangunan di bawah 5.000 meter persegi.
Asep mengingatkan, pelanggaran terhadap pengelolaan lingkungan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, dengan ancaman kurungan 10 hingga 90 hari atau denda antara Rp 100 ribu hingga Rp 30 juta.
Selain itu, sesuai Peraturan Gubernur Nomor 122 Tahun 2005 tentang Air Limbah Domestik, pelanggar juga dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan penyegelan bangunan.
"Tahun ini kami fokus membina usaha kategori SPPL, dimulai dari kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung sebagai pilot project penguatan pengelolaan lingkungan sejak dari hulu," kata Asep.
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.