Kisah Tukang Sampah Jujur yang Bersalaman dengan Jokowi, Kembalikan Uang Rp 20 Juta ke Pemiliknya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jubaidi (65) bersama gerobak sampahnya saat ditemui di rumah kontrakannya di Jalan Gambiran, Umbulharjo, Yogyakarta, Sabtu(9/6/2018).

TRIBUNJAKARTA.COM, YOGYA - Jubaidi terlihat memakai kopiah hitam, batik cokelat dan celana kain yang digulung ujungnya sampai ke atas mata kaki.

Jubaidi sedang duduk santai saat dikunjungi Tribun di kediamannya di Jalan Gambiran, nomor 14, Umbulharjo, Yogyakarta.

Saat itu, warga asal Mojokusumo, Kemlagi, Mojokerto usai memungut sampah

Ia adalah tukang sampah jujur yang pekan lalu, diundang ke Jakarta.

Baca: Kunjungi Indonesia, Anthony Bourdain Sempat Datangi Rumah Makan Minang Legendaris di Jakarta Pusat

Saat diundang pada acara KADIN di Jakarta tersebut, ia pun berkesempatan untuk berjabat tangan dengan Presiden Joko Widodo yang juga menjadi tamu pada acara itu.

Namun, siapa sangka, di balik kerendahan hati dan jiwa kejujuran yang dimilikinya, Jubaidi menyimpan duka amat dalam.

Di usianya yang sudah tak bisa dikatakan muda lagi, ia hanya berharap masih diberi kesempatan untuk bertemu anak-anaknya yang sudah lama terpisah darinya.

Saat ini ia tinggal sebatang kara di dalam sebuah kamar kos kecil, berukuran 3x4 meter persegi.

Setiap hari ia terpaksa harus merenda rindu, setelah anak-anaknya bersuami dan pergi dari kehidupannya.

Baca: Mayat Rika Dibungkus Kardus di Atas Motor: Obrolan Terakhir dengan Pelaku dan Kebiasaan Saat Gajian

Sementara istrinya, sudah lama meninggal dunia sebelum Yogyakarta terjadi gempa tahun 2006 silam.

"Istri saya sudah meninggal dunia sebelum gempa," ujar Jubaidi, Sabtu (9/6/2018).

Diungkapkan oleh Jubaidi, ia memiliki dua orang anak, bernama Nurul dan Fitri.

Dari kabar yang ia peroleh, kedua putrinya tinggal dan menetap di daerah Lamongan dan Balongpanggang, Gresik.

Namun, anak-anaknya sudah hilang komunikasi semenjak keduanya menikah dan saat ini tak pernah ada kabarnya.

"Sebetulnya saya kangen. Saya pengen bertemu anak-anak saya," tuturnya.

Ia sendiri mengaku pengen mengunjungi kediaman anak-anaknya namun alamat pastinya tidak pernah diketahui.

"Lamongan dan Balongpanggang kan luas. Saya tidak tahu anak saya tinggal dimana,"ungkapnya.

Ia berharap lewat pemberitaan dari berbagai media massa, anaknya saat ini bisa mengetahui alamat persis kamar kos miliknya di Yogyakarta.

"Anak saya mungkin mau mencari saya di Yogyakarta takut. Nggak tau alamat kos saya. Dulu, waktu masih bisa komunikasi lewat telepon saya bilang: 'nduk, kalau kamu ke kebun binatang (gembira loka) nanti kamu ketemu bapak," tutur Jubaidi.

Namun, hingga kini kedua anaknya tak pernah berkunjung.

Ia sendiri mengaku kebingungan jika harus mencari alamat lengkap kedua putrinya.

Jubaidi hanya bisa tertunduk, mengenang kedua putrinya raut wajahnya tampak sedih.

Ada gemuruh dalam sanubarinya yang tertahan untuk dikeluarkan.

Setelah cukup lama, ia kemudian berkata yang ia tujukan kepada kedua anak-anaknya, dimana pun berada.

"Nak, semenjak tidak ada ibumu Bapak bekerja menjadi tukang sampah. Bapak ingin mengirimi kamu uang untuk jajan, tapi tidak ada alamatnya," ucapnya.

"Bukan hanya sekarang bapak pengen ngirim kamu uang, Nak. Setiap bapak bayaran, bapak pengen ketemu. Tapi tidak tau alamatnya," lanjut Jubaidi.

Pindah ke Yogyakarta

Jubaidi bercerita, awal mulanya ia merupakan seorang buruh tani di Mojokerto.

Ia hidup dengan mengandalkan kuli dari para tetangga yang butuh tenaganya untuk mengolah tanah maupun panen padi.

"Saya di Mojokerto itu Petani, tapi tidak punya tanah. Yang punya tanah bapak saya. (untuk hidup) Apa saja saya lakukan. Dari mencangkul, panen padi saya lakukan,"

Karena faktor ekonomi, ia bersama istrinya kemudian memutuskan untuk mencari peruntungan dengan meninggalkan kampung halaman dan pindah ke kota besar.

Perpindahan ia dan keluarganya dari kampung ke kota, tentu saja melalui izin dari kedua orangtuanya.

"Saya nekat. Saya tidak tau mau ke kota mana, pokoknya kerja apa saja yang penting bisa mencari nafkah buat keluarga," ungkapnya.

Hingga kemudian, tanpa direncanakan, jalan takdir membawa Jubaidi dan istrinya tiba di kota Yogyakarta.

"Awalnya saya tinggal di dekat Puskesmas Muja-muju selama 16 tahun. Kemudian pindah kos di Jalan Gambiran ini. Di sini baru empat tahun," jelasnya.

Jubaidi merupakan sosok yang sangat sederhana.

Ia tinggal sendiri di sebuah kamar kecil berukuran 3x4 meter persegi.

Kamar itu merupakan kamar kos yang ia sewa seharga Rp 350.000 setiap bulannya.

Di dalam kamar itu, tidak ada perabotan mewah.

Hanya ada televisi, almari kecil dan kasur yang telah usang.

Kamar itu berada di ujung gang.

Terlihat sangat sempit karena bagian depan dipagar oleh bangunan sebelahnya.

Di depan kamar, terdapat pula gerobak sampah berwarna kuning yang digunakan Jubaidi untuk bekerja memungut sampah setiap hari.

Meski serba pas-pasan, Jubaidi nyatanya tidak silau akan dunia.

Beberapa kali ia menanggung ujian dengan menemukan uang jutaan rupiah di pinggir jalan.

Namun, selalu ia kembalikan kepada pemiliknya secara utuh.

Puncaknya, ketika hari Rabu tanggal 23 Mei 2018, pagi, sekira pukul 06.00 WIB, seperti biasanya, ia bekerja berkeliling di wilayah Muja-muju, Umbulharjo untuk memunguti sampah.

Usai berkeliling, ketika hendak ke TPS Kotagede.

Tepatnya di jalan Veteran, Umbulharjo, ia menemukan sebuah tas karung berwarna orange yang tergeletak di pinggir jalan.

Di dalam karung itu, ternyata berisi cas handphone, kipas angin kecil dari baterai, 19 amplop yang di dalamya berisi uang pecahan Rp 10 ribu dan uang pecahan seratusan ribu yang dihitung berjumlah Rp 20 juta.

Uang tersebut, oleh Jubaidi dikembalikan utuh kepada pemiliknya lewat bantuan Polsek Umbulharjo, Yogyakarta. (Tribun Jogja, Ahmad Syarifudin)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Kisah Haru Pemulung Jujur, Jubaidi : Saya Pengen Ketemu Anak-anak,

Berita Terkini