Cerita Wawan, Tiap Hari Pergi Pulang Jasinga-Jakarta Buat Berkeliling Jual Cemilan Tradisional

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wawan, pedagang cemilan tradisional tengah beristirahat sambil menjajakan dagangannya di kawasan Tamansari, Jakarta Barat.

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra

TRIBUNJAKARTA.COM, TAMANSARI - Saat ini keberadaan pedagang keliling yang berjalan kaki memang tak sebanyak beberapa ‎tahun lalu.

Terlebih pedagang keliling yang menjual aneka cemilan tradisional. Entah itu makanan atau pun kesenian tradisional, saat ini sudah jarang ditemui.

‎Satu diantara pedagang makanan tradisional yang berkeliling menjajajakan dagangannya yakni Wawan (35) yang menjual beragam cemilan tradisional seperti lepet, tape singkong, tape uli dan dodol.

Menggunakan dua keranjang yang dipanggulnya, ‎W‎awan menyusuri tiap sudut di wilayah Tamansari, Jakarta Barat.

Bila sedang lelah, ia memilih beristirahat di depan gedung perkantoran atau pertokoan yang ada di wilayah itu sambil menjajakan dagangannya.

Harga cemilan yang ia jual itu cukup murah, yakni mulai dari Rp 2.500‎ yakni untuk lepet. Sedangkan tape uli, maupun tape singkong seharga Rp 5.000 dan Rp 15.000 untuk dodol.

‎Ia mengatakan semua dagangannya itu dibawa langsung dari pembuat di dekat rumahnya di kawasan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

"Ini boleh ngambil dari pembuatnya di dekat rumah di Jasinga, saya cuma jualin aja disini," kata Wawan ditemui TribunJakarta.com di kawasan Tamansari, Jakarta Barat, Rabu (6/2/2019).

Wawan mengatakan dirinya memang setiap hari pergi pulang dari rumahnya di kawasan Jasinga menuju Jakarta Barat.

Setidaknya sudah lima tahun ini ia menjalani rutinitas seperti ini yakni pergi pulang dari Jasinga ke Jakarta sambil membawa dagangannya.

Ia menggunakan KRL rute ‎Rangkas Bitung-Tanah Abang dari Stasiun Tenjo yang merupakan stasiun terdekat dari tempat tinggalnya.

Ia berangkat dari rumahnya menuju Stasiun Tenjo setelah adzan Subuh menggunakan sepeda motornya yang nanti ia titipkan di stasiun.

"Saya tiap hari jam ‎04.30 WIB sudah berangkat dari rumah ke Stasiun buat naik kereta pertama yang ke Tanah Abang. Jadi sekitar jam 07.00 WIB sudah sampai di Tanah Abang," kata Wawan.

‎Ditanyakan alasannya yang memilih pergi pulang Jakarta-Bogor setiap harinya, Wawan mengatakan hal itu karena ia harus berhemat.

Dikatakannya, untuk pergi pulang Jakarta-Bogor menggunakan KRL ia hanya merogoh kocek Rp 16.000.

Sedangkan untuk makan siang, Wawan selalu membawa bekal sebagai upaya penghematan.

Menurutnya, angka tersebut lebih hemat ketimbang harus tinggal di Jakarta.

"Kalau tinggal di Jakarta kan mahal, buat sewa kontrakan aja sudah berapa, belum lagi buat makan anak istri. Makanya lebih milih bolak balik karena saya kan emang asli Jasinga," kata Wawan.

Selain harus berjuang menempuh perjalanan cukup jauh setiap harinya, Wawan mengakui omzet sebagai penjual cemilan tradisional sepertinya memang tak menentu.

Mayoritas masyarakat, umumnya anak-anak muda sudah tak tertarik dengan cemilan yang dijualnya.

Jual Kue Seribuan, Bu Dendy Pakai Mobil Seharga 3 Toyota New Avanza

Sejarah Kue Keranjang di Perayaan Imlek, Legenda Raksasa Jahat hingga Sesaji untuk Leluhur

Tak jarang, ia harus pulang sampai larut malam sambil berharap seluruh dagangannya itu laris terjual, meski jumlah dagangan yang ia bawa sebenarnya tidak terlalu banyak.

"Bawa sedikit aja jarang habis cepat. Kalau belum habis semua, saya biasanya pulang naik kereta yang paling malam," kata Wawan.

Namun, lantaran tak ada pilihan lain dan ingin melestarikan cemilan tradisional kebanggaan daerah asalnya, hal itulah yang membuat Wawan tetap setia berjualan sampai hari ini.

"Ya namanya hidup harus kita jalanin aja. Biar sedikit asalkan halal kan enggak masalah yang penting bisa buat hidupin anak istri dirumah," katanya.

Berita Terkini