TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Puluhan mayat tersimpan di ruangan berdinding hijau di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, Bali, Kamis (2/5) pagi.
Ruangan itu tertutup rapat, puluhan jasad berasal dari titipan sementara sampai mayat tanpa identitas atau Mr X .
Dua Mr X di ruangan ini bahkan ada yang sudah disimpan sejak dua tahun silam.
“Saat ini ada 17 jenazah terlantar di sini. Paling banyak itu yang Mr X,” kata Konsultan Forensik Klinik RSUP Sanglah, dr Ida Bagus Putu Alit SpFM (K), DFM.
Dijelaskan, saat ini terdapat 17 jenazah terlantar yang tersimpan di Instalasi Kedokteran Forensik (IKF) RSUP Sanglah.
Dari 17 yang terlantar, 13 di antaranya merupakan jenazah tanpa identitas atau berstatus Mr X.
Sisanya, ada 2 orang asing yang memiliki identitas namun masih bermasalah, kemudian ada 2 jenazah WNI yang beridentitas namun tak mau diambil oleh keluarganya.
“Jenazah yang terlantar itu adalah jenazah yang tidak ada yang mengurus. Bisa saja mungkin masih tidak dikenal, atau juga mungkin ada keluarganya tapi memang tidak mau mengurus jenazah tersebut,” jelas pria yang sempat menjabat sebagai Kepala Bagian Forensik RSUP Sanglah itu.
Alit menjelaskan, total jenazah terlantar yang ada saat ini di RSUP Sanglah sebetulnya jauh lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Sebelumnya dua kali lipat saat ini yang terlantar. Sekarang 17 jenazah termasuk sedikit,” ungkap Alit.
Dari 13 jenazah berstatus Mr X itu, lanjut Alit, 6 di antaranya merupakan bayi dan sisanya orang dewasa.
Kemudian, dari enam bayi Mr X tersebut, tiga di antaranya sebetulnya sudah diketahui oleh ibu atau orang tuanya, namun mereka tidak mau mengurus jenazah anak mereka.
Sedangkan, tiga bayi Mr X lainnya datang dari TKP.
“Jadi mereka memang melahirkan di RS Sanglah, tapi kemudian bayinya meninggal dan mereka menyerahkan ke sini,” beber dr Alit kepada Tribun Bali.
Lalu, bagaimanakah penyelesaian terhadap jenazah yang berstatus Mr X atau yang sudah beridentitas namun tidak mau diambil oleh keluarga mereka?
Menurut Alit, jenazah yang terlantar terbagi dalam dua klasifikasi.
Pertama, jenazah tersebut akan dilihat terlebih dahulu apakah itu merupakan barang bukti kepolisian atau tidak.
“Untuk tindak lanjut jenazah terlantar jenis ini, kami akan mintakan surat pembebasannya terlebih dahulu bahwa jenazah itu tidak menjadi barang bukti lagi. Jadi ada surat dari kepolisian. Jadi kalau semua jenazah ini sudah dibebaskan oleh kepolisian, barulah kami bisa melakukan tindaklanjut atas jenazah tersebut,” ujar dr Alit.
Kemudian, masalah yang juga kerap dihadapi di IKF RSUP Sanglah ialah saat pihak keluarga jenazah tak mau menerima jenazah tersebut meskipun sudah dihubungi dan diketahui identitasnya.
Ini seperti yang terjadi saat ini di RSUP Sanglah. Saat ini ada dua jenazah warga asing yang telah dihubungi keluarganya di luar negeri.
Namun pihak keluarga tidak mau menengok bahkan tidak mau mengurusnya.
Apabila kondisi ini terjadi, pihak RSUP Sanglah mempunyai fungsi sosial, yakni melenyapkan jenazah dengan cara melakukan kremasi.
“Kalau pihak keluarga tidak mau mengurus jenazah, maka secara reguler kami di RS Sanglah mempunyai fungsi sosial. Bekerjasama dengan Dinas Sosial, kami akan melakukan kremasi. Kremasinya tergantung dana. Kalau memang dana mencukupi biasanya kami adakan kremasi dua kali dalam satu tahun. Kecuali jenazah yang masih terlantar tapi dipermasalahkan, itu kami biarkan,” jelas dr Alit.
Rp 300 Ribu per Jenazah
Saat ini IKF RSUP Sanglah memiliki 35 unit kamar jenazah. Namun, khusus untuk jenazah yang terlantar biasanya ditempatkan di dua kamar saja.
Alit mengatakan, semakin banyak jenazah terlantar, maka kebutuhan freezer (alat pendingin) semakin banyak dan ketersediaan kamar jenazah pun semakin berkurang.
Itu sebabnya, jenazah terlantar yang sudah jatuh tempo, dan keluarganya sudah dihubungi tapi tidak merespons, maka pihak RS bekerjasama dengan dinas sosial melakukan kremasi.
Biasanya, kata Alit, jenazah di RS Sanglah dikremasi di Krematorium Kertha Semadi, Mumbul, Jimbaran, Badung Selatan.
Dalam penanganan jenazah, kata Alit, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah potensi penularan penyakit.
Sebab, menurutnya, jenazah yang sudah mengalami proses pembusukan, biasanya bakal muncul sebagai sumber penularan.
“Jadi itu yang kita antisipasi. Sehingga kita di sini sudah punya general frequention untuk mencegah penularan tersebut,” katanya.
Hal kedua yang biasanya dihadapi oleh pihak IKF, lanjut Alit, adalah ketika jumlah freezer terbatas.
Sebab, dengan adanya jenazah yang terlantar, kapasitasnya pasti berkurang dari yang baru masuk.
“Jadi meskipun jenazah sudah di dalam freezer, tapi karena sudah setahun misalnya, jenazah itu pasti akan bau. Baunya ini akan menyebar ke jenazah yang baru. Jadi meskipun jenazah ini belum lama, tapi jika diambil keluarga kenapa tercium bau, ya karena itu. Sehingga kita biarkan dulu beberapa lama baru diambil,” ujar Alit.
Banyak hal yang menyebabkan jenazah terlantar ini.
Namun, dari banyak kasus yang telah ditangani, biasanya jenazah terlantar jika ditolak oleh keluarganya karena hubungan antar keluarga tersebut tidak bagus.
Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi penyebab.
“Sekarang kalau dilihat secara holistik mungkin penyebabnya sangat kompleks, salah satunya bisa jadi hubungan kekerabatannya kurang bagus. Mungkin juga dia dari awal memang sudah di sini dan tidak kontak lagi dengan keluarganya,” papar Alit.
Untuk pengelolaan jenazah terlantar, Alit, menjelaskan bahwa tidak ada anggaran khusus.
Semua dibiayai secara insidental atau fleksibel bekerjasama dengan Dinas Kesehatan, dan Dinas Sosial Provinsi Bali.
Namun jika dilihat dari jumlah pembiayaannya, duit yang dibutuhkan untuk menangani jenazah terlantar ini memang cukup besar.
“Kalau kami hitung-hitung menggunakan listrik dengan tarif sekarang ya sekitar Rp 300 ribu per hari. Itu per freezer. Jadi kita rata-rata. Dari situ bisa kita estimasi, Rp 300 ribu dikali berapa jenazah. Satu frezeer ada 4 jenazah,” ungkap Alit.
Selama bertugas di IKF RSUP Sanglah, Alit mengaku belum pernah ada pihak yang ingin membeli organ-organ tubuh dari jenazah yang ada di instalasi itu.
Namun, biasanya ada beberapa jenazah yang memang dapat digunakan untuk kepentingan edukasi atau pendidikan.
“Itu namanya kadaver. Jadi setelah sekian lama jenazah tersebut tidak ada yang mengakui, kalau ada pelatihan-pelatihan tertentu di RS, asalkan dia tidak merusak, jenazah itu bisa kita gunakan. Kadaver itu juga bisa digunakan oleh fakultas kedokteran untuk mempelajari anatomi,” ujar Alit.
Kepala Dinas Sosial Kota Denpasar, Made Mertajaya mengatakan, untuk penanganan jenazah terlantar di rumah sakit yang ada di Denpasar biasanya pihaknya berkoordinasi dengan pihak Dinas Sosial Provinsi Bali untuk tindak lanjut pemulangan jenazah.
“Itu bukan kami yang menangani. Kami biasanya koordinasi dengan provinsi (Dinas Sosial Provinsi),” kata Mertajaya.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali, Dewa Mahendra Putra menjelaskan, untuk penanganan jenazah terlantar di rumah sakit pihaknya harus menunggu keterangan dari kepolisian terlebih dahulu.
Misalnya, apabila ada jenazah yang diklaim terlantar, maka harus ada surat keterangan dari kepolisian bahwa jenazah tersebut memang benar-benar terlantar, sehingga bisa diambil tindakan kremasi.
“Tahun lalu itu ada 27 jenazah. Itu setelah menunggu surat dari kepolisian yang menyatakan bahwa dia mayat Mr X dan terlantar. Itu dasarnya. Kalau prosedur itu sudah dilalui, berarti sudah bisa kami lakukan kremasi,” kata Dewa Mahendra.
Ditanya mengenai berapa anggaran yang dikeluarkan jika ada kegiatan kremasi, Mahendra mengaku tidak hapal data.
Sedikit di RS Wangaya
Selain RSUP Sanglah, RSUD Wangaya Denpasar juga kadangkala menerima jenazah.
Namun jumlah jenazah terlantar di RSUD Wangaya tak sebanyak yang ada di RSUP Sanglah.
Dari data yang diperoleh, tahun 2017 jumlah jenazah yang terlantar di RSUD Wangaya sebanyak 1 orang. Sedangkan, tahun 2018 sebanyak 2 orang.
RSUD Wangaya memiliki 15 freezer untuk menampung jenazah.
• Ibu Kandung Pelaku Pembuangan Mayat Bayi di Koja Jarang Keluar Rumah
• Sempat Disangka Bangkai Kucing, Ibu Mayat Bayi Kantong Plastik di Genteng Rumah Ternyata Pelajar
• Pelaku Pembuangan Mayat Bayi di Koja Ditangkap
• Kantong Plastik Berisi Mayat Bayi Ditemukan di Genteng Rumah, Begini Kata Warga Koja
• Cari Kayu di Pinggir Sungai Citarum Bekasi, Darip Malah Temukan Mayat Wanita
Kasubag Humas RS Wangaya, AA Ngurah Suastika mengatakan, biasanya jenazah yang terlantar di RS Wangaya adalah pasien yang juga terlantar atau tidak memiliki penanggungjawab di Bali.
Apabila seorang pasien yang dirawat kemudian mereka meninggal, kata Suastika, maka pihak RS harus membuat surat yang ditandatangani juga oleh Dinas Sosial.
Apabila dalam waktu tiga bulan jenazah yang terlantar tersebut belum ada yang mengambil, maka pihak RS Wangaya bakal melakukan kremasi.
“Kalau tidak ada juga yang datang, biasanya kami koordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena biasanya yang kami tangani itu, berdasarkan pengalaman, dari non Hindu. Kalau dia Islam, kami koordinasi ke MUI,” kata Suastika.
RS Wangaya, lanjut Suastika, juga pernah mengalami masalah ketika menerima jenazah yang sudah memiliki identitas, tapi keluarganya malah tidak ditemukan.
Bahkan, pernah ada kasus jenazah terlantar yang memiliki identitas, tapi setelah dicari ke alamatnya, si pemilik alamat mengaku tidak kenal dengan pihak yang meninggal.(*)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Cerita 17 Jenazah Telantar di RSUP Sanglah Bali, Ahli Ini Ungkap Ada Jenazah Bayi Tak Diurus Ibunya,