Abdul mengaku, 20 tahun bersentuhan dengan umat tidak pernah sedikitpun menggoyahkan keyakinannya.
"Kitakan namanya manusia suka ini ya, tapikan kita biasa-biasa aja sih yang pentingkan kita saling menghormati aja kuncinya, kita enggak mesti repot-repot," ujarnya.
Abdul meyakini, keberadaannya di klenteng tidak akan menggangu keyakinannya sebagai seorang muslim.
Klenteng menurut dia bukan tempat yang hanya bisa dimasuki oleh umat Tionghoa, tempat itu diyakininya sebagai titik dimana umat kembali mengingat budaya leluhur.
"Ini bukan cuma agama, jadi kita mau masuk ya boleh-boleh aja, lagian kalau saya emang ada keturunan dari buyut orangtua," paparnya.
Sejak berkarir di kelenteng, Abdul tidak pernah mendapatkan cacian atau omongan sinis baik dari tetangga maupun keluarga besarnya.
Mereka menurut dia, sudah saling mengerti dan tahu bagaimana caranya hidup berdampingan antar-sesama umat beda keyakinan.
"Eggak, enggak pernah (ada yang ngejek), orang di sini baik semua ada, biasa aja dari keluarga juga mendukung jadi wajar-wajar aja," ucapnya.
Lingkungan sekitar kelenteng memang didominasi dengan warga keturnan Tionghoa. Abdul sendiri tinggal di perkampungan di Jalan Mayor Oking, jaraknya sekitar 2 kilometer dari tempat kerjanya.
"Kalau di sini (sekitar kelenteng) banyakan Tionghoa, tapi kalau tempat tinggal saya banyakan muslim orang pribumi, tapi saya enggak penah ada apa-apa, udah senang aja kerja di sini," tegasnya.
Ikut Senang Merayakan Imlek
Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan salah satu momentum yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya oleh Abdul.
Meski sibuk dengan berbagai pekerjaan, dia merasa Imlek adalah perayaan yang ramai.
"Ya senang paling kayak misalnya acara Imlek terus misalnya acara Cap Go Meh itu rame kadang juga ada tamu yang kasih (angpao) ke kita," ungkapnya.
Selain itu, perayaan Imlek juga kerap ia sambut dengan memberikan sedikit rezeki ke sanak saudara.