Laporan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, TEBET - Saat sore hari, Sa'anih (34), bersama keempat anaknya duduk beralaskan kasur di pinggir bekas jalur rel kereta api lama Manggarai - Bekasi.
Putra (11), Ahmad (5), Dana (4) dan Galih (2) terlihat asyik mengerubungi ibunya di atas kasur empuk di tengah hamparan bebatuan kerikil.
Beberapa kali anak-anak kecil itu saling bersenda gurau kadang diselingi rengekan akibat pertengkaran kecil.
Candaan mereka sesekali ditemani suara deru kereta rel listrik yang melintas di jalur rel baru double-double track (ddt).
Menikmati senja tak harus dengan pemandangan indah nan menawan hati.
Bagi keluarga Waluyo, menikmati senja di pinggir rel kereta merupakan sebuah hiburan gratis.
Mereka bisa melihat senja terbenam sembari menyaksikan kereta melintas ditemani suara bising pembangunan.
TONTON JUGA:
Sa'anih bercerita bahwa keluarga mereka merupakan perantau dari Boyolali, Jawa Tengah.
Seingat Sa'anih, mereka mengadu nasib ke Jakarta saat Putra, anak sulungnya baru berusia 40 hari.
Baca juga: Ritual Mandi Bareng untuk Bersihkan Segala Dosa, Pengikut Hakekok Bawa Keris hingga Kondom
Baca juga: Siang Bolong, Sepasang Kekasih Berciuman di Taman Pinggir Kali, Viral di Media Sosial
Mereka sempat tinggal lama di kawasan Jakarta Barat. Di sana, Waluyo, suaminya, pernah berdagang nasi goreng.
Sekitar tahun 2018, mereka baru pindah ke kawasan Manggarai untuk mencari pekerjaan baru.
Di Manggarai, Waluyo bekerja sebagai kuli serabutan. Penghasilannya pun pas-pasan.
Ketika ada proyek pembangunan jalur ddt, keluarga Waluyo terkena gusuran. Tak ada tempat tinggal, mereka kemudian pindah tak jauh dari lahan bekas gusuran.
Waluyo ditawari warga tinggal di bedeng reot yang terletak di pinggir rel.
"Sudah lima bulan ini kita tinggal di pinggir rel," ujar Sa'anih.
Tanpa Listrik
Hidup Sa'anih dan Waluyo serba pas-pasan. Mereka hidup di rumah seadanya tanpa listrik.
"Di sini enggak ada lampu, di rumah pakai lillin," ujarnya.
Dapur pun tak ada. Sa'anih mengaku jarang masak. Bila lapar, ia membeli makanan untuk anak-anaknya di warung.
Sehari-hari, Sa'anih dan keempat anaknya jarang keluar. Biasanya ia keluar bila anaknya ingin bermain odong-odong di jalan.
"Sehari-harinya udah, gitu aja," katanya.
Saat berbincang dengan Sa'anih, Waluyo (41), sang suami yang terpaut usia cukup jauh dengannya, muncul dari bawah rel.
Pria berambut gondrong itu baru pulang usai bekerja membetulkan bangunan di kawasan Manggarai.
Sembari merokok, ia menemui istri dan keempat anaknya kemudian duduk di atas bebatuan kerikil.
Waluyo mengatakan keluarga mereka tak dapat bantuan sosial dari pemerintah selama pandemi Covid-19.
"Enggak dapat, kan KTP-nya Jawa, paling dari orang-orang panti atau yayasan yang suka datang. Dulu sering seminggu ada tiga kali, sekarang udah enggak ada semenjak digusur," lanjutnya.
Di tengah kehidupan yang serba sederhana itu, Waluyo tak menaruh harapan lebih kepada pemerintah. Orang pinggiran seperti dirinya lebih sering diasingkan.
Bahkan, tinggal menunggu waktu saja keluarganya akan kembali tergusur dari pinggir rel ini.
Namun, bila ada orang yang memberi modal, Waluyo ingin coba merintis usaha dagang nasi goreng. Sebab, ia memiliki pengalaman berdagang nasi goreng.
Istrinya pun menilai nasi goreng buatan Waluyo boleh dicoba.
"Dia kalau buat nasi goreng enak," ujar Sa'anih memuji suaminya itu.