Dia hanya membedakan peziarah berdasarkan niat mereka datang, dengan niat tulus beribadah kepada Allah SWT atau justru melalukan hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
"Makannya kalau ada yang datang saya tanya di mana tinggalnya, maksud kemari apa. Kalau peziarah datangnya sih dari mana saja, namanya kita enggak undang."
"Ada yang dekat, ada yang jauh. Kalau benar-benar mau ziarah, tirakat, riyadhoh ya silakan," lanjut Yanto.
Pertarungan dengan Siluman Buaya
Selama ini Lubang Buaya dikenang dalam sejarah sebagai lokasi tragedi tujuh Pahlawan Revolusi dibunuh pada 30 September 1965.
Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, Lubang Buaya sudah ada dan digunakan sebagai nama lokasi yang berbatasan dengan Pondok Gede.
Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah adalah pencetus nama Lubang Buaya.
Yanto berkisah, tercetusnya nama Lubang Buaya berawal saat leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad 7.
Baca juga: Ini Sebagian Karomah Habib Kuncung di Rawajati: dari Kisah Kereta Api hingga Tukang Delman
"Menurut cerita kakeknenek saya, sebelum sampai kemari melakukan perjalanan melalui rute Kali Sunter. Mengendarai kendaraan dari bambu, disebut getek kalau enggak salah," kata Yanto.
Dalam perjalanannya itu, getek yang digunakan Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah seolah tersedot ke lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter.
Namun, Mbah Datuk Banjir tidak sampai terseret ke lubang, dia berhasil tiba di daratan.
"Memang di Kali Sunter itu ada penguasanya zaman dulu. Ya selain buaya-buaya biasa ada penguasa gaib yang disebut siluman buaya putih," ujarnya.
Merujuk keterangan leluhurnya, buaya putih penguasa Kali Sunter tersebut dikisahkan bernama Pangeran Gagak Jakalumayung yang memiliki anak berjuluk Mpok Nok.
Mpok Nok berwujud buaya tanpa ekor atau disebut warga buaya buntung.
Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pun lalu berkelahi dengan keduanya.