Baginya, makan dengan nasi dan kecap sudah cukup untuk bertahan hidup.
Emak hidup sebatang kara di rumah kontrakannya yang sederhana. Di rumah petak itu, ia tidur beralaskan kasur lapuk.
Di depan kasur terdapat televisi cembung kecil yang terkadang berubah hitam putih. Di bawah lantai, berserakan berbagai macam perabotan rumah dan pakaian.
Sebelum pandemi Covid-19, ia mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bantu-bantu jualan minuman di kampus.
Dalam sehari, emak mendapatkan uang Rp 50 ribu.
Penghasilannya digunakan untuk membayar kontrakan setiap bulan.
Semenjak pandemi Covid-19, kampus tutup sehingga penghasilannya ikut-ikutan hilang.
Emak kemudian mencari penghasilan lain. Terkadang, ia membantu menggosok pakaian tetangga. Namun, penghasilannya kerapkali tak cukup untuk membayar kontrakan.
Belakangan, emak juga memunguti berbagai plastik dan kardus yang ditemuinya di jalan. Kemudian ia jual ke pemilik lapak dengan pendapatan yang tak seberapa.
Beruntung, emak memiliki pemilik kontrakan yang memahami kondisi hidupnya. Emak dibolehkan menyicil biaya kontrakan per bulan. Cicilannya pun jarang dilunasinya.
Pemilik kontrakan juga sering memberikan lauk untuk makan emak.
Kepada TribunJakarta.com, emak bercerita bahwa untuk makan sehari-hari saja berat. Apalagi hidup di tengah keadaaan darurat pandemi Covid-19. Emak sering bersantap hanya dengan nasi, dan kecap. Untuk menambah rasa, ia menaburinya dengan garam.
"Bukan berat lagi, ini benar-benar berat. Kalau untuk makan yang penting ada beras, garam dan kecap. Itu yang penting," ungkapnya kepada TribunJakarta.com pada Selasa (15/6/2021).
Bahkan, emak bercerita bersantap sayur asam dan ikan asin saja sudah makanan mewah baginya.
"Sayur asem dan ikan asin bukan mewah lagi buat saya. Seminggu sekali makan ini juga enggak," ujarnya dengan nada bergetar.