Laporan dari Kelompok Riset Geodesi, Institut Teknologi Bandung (ITB), HZ Abidin, H Andreas, I Gumilar, dan IRR Wibowo tahun 2015 mengungkapkan, umumnya penurunan tanah di Jakarta memiliki variasi spasial dan temporal, dengan tarif tipikal antara 3 hingga 10 centimeter tiap tahunnya.
Dalam laporan yang berjudul "On Correlation Between Urban Development, Land Subsidence and Flooding Phenomena in Jakarta", dikatakan, faktor dominan yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta adalah pengambilan air tanah yang berlebihan.
Faktor lain yang berpengaruh pada penurunan tanah ialah aktivitas teknonik, konsolidasi alami tanah alluvium, serta beban infrastruktur dan konstruksi. Namun, aktivitas tektonik bukanlah faktor pemicu yang dominan di Jakarta.
Dampak penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat dari retaknya bangunan dan infrastruktur, “tenggelamnya” rumah dan bangunan, dan perubahan sungai kanal dan sistem aliran drainase.
Kemudian perluasan pesisir yang lebih luas dan/atau daerah banjir pedalaman, tidak berfungsinya sistem drainase, dan peningkatan intrusi air laut pedalaman.
"Di wilayah pesisir Jakarta, yang memiliki tingkat penurunan tanah yang relatif lebih tinggi, dampak berupa banjir pantai saat air pasang bahkan lebih merusak," ujar laporan tersebut.
Pada tahun 2010 silam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah mengingatkan gabungan kenaikan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah bakal membuat risiko Jakarta tenggelam makin tinggi.
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Robert Delinom mengungkapkan, gabungan gabungan kenaikan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah dapat menyebabkan daerah yang tenggelam menjadi lebih luas.
“Tapi sampai 2050 faktor penurunan tanah lebih dominan (membuat Jakarta tenggelam)," kata Delinom, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (31/7/2021).
Di sisi lain, menurut Delinom, faktor lain yang ikut mendukung penurunan permukaan tanah adalah pertambahan bangunan dalam skala masif yang terjadi setiap tahun. Bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, perumahan menyebabkan daerah resapan air semakin menipis.
Hal itu harus ditata ulang oleh pemerintah. Delinom menyebut Jakarta bagian tengah, pembuatan bangunan masif dan perkantoran masih aman dilakukan.
Namun, di bagian selatan Jakarta untuk diperbanyak wilayah terbuka hijau dan lokasi parkir air (tempat bermuara air).
Ia juga meminta pemerintah mengubah pola pembangunan kawasan di Jakarta. Ia pun menyarankan agar wilayah utara Jakarta tidak ada lagi pembangunan masif.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jakarta Terus Alami Penurunan Tanah, Prediksi Biden Bisa Terjadi"