Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Yusmada Faizal mengklaim berhasil menekan laju penurunan tanah di ibu kota.
Ia menyebut, keberhasilan ini berkat skema pengenaan pajak air tanah bagi sektor komersial.
"Kalau dulu kan (tanah turun) 20 sentimeter per tahun, kalau sekarang di bawah 10 sentimeter, malah ada yang 5 sentimeter," ucapnya, Selasa (5/10/2021).
"Itu dampaknya (aturan pajak air tanah) signifikan terhadap penurunan tanah," sambungnya.
Baca juga: Sempat Disidak Presiden Jokowi, Ini Persiapan Rumah Pompa Waduk Pluit Hadapi Musim Hujan
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta itu mengatakan, penyedotan air tanah secara besar-besaran pernah terjadi pada tahun 1995.
Saat itu, penggunaan air tanah mencapai 30 juta meter mubik per tahun.
"Kalau sekarang, tahun lalu sudah di angka 8 juta. Menurun penggunaan air tanah itu, berbarengan dengan penurunan tanah," ujarnya saat ditemui di DPRD DKI Jakarta.
Baca juga: Larangan Penggunaan Air Tanah Karena Jakarta Terancam Tenggelam, Pemprov DKI: Tidak Pantas
Sebagai informasi, ketentuan soal pajak air tanah ini tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17 Tahun 2010.
Dalam aturan itu dijelaskan bahwa pajak air tanah ditetapkan sebesar 20 persen.
"Pajak air tanah itu mahal sekali dibandingkan air pipa," kata anak buah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ini.
Baca juga: PSI DKI Ingatkan Mas Anies soal Jakarta Akan Tenggelam: Eksploitasi Air Tanah Sebaiknya Dihentikan
Walau demikian, Pemprov DKI kini tengah menggodok aturan terkait zona bebas air tanah.
Zona bebas air tanah ini nantinya merupakan wilayah yang sudah terjangkau jaringan air perpipaan.
"Aturan itu sedang dibahas untuk wilayah yang sudah dilayani air perpipaan itu akan dibikin kebijakan tidak lagi menyedot. Kami sedang rumuskan," tuturnya.
Prediksi Joe Biden Jakarta akan Tenggelam dalam 10 Tahun
Prediksi Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun mendatang karena penurunan muka tanah menjadi isu nasional dalam beberapa bulan belakangan menyusul adanya pernyataan presiden Amerika Serikat, Joe Biden.
Joe Biden menyampaikan kemungkinan Jakarta akan tenggelam 10 tahun lagi bisa saja menjadi kenyataan.
Dalam pidatonya di Kantor Direktur Intelijen Nasional, Selasa (27/7/2021), Biden mengingatkan kembali mengenai perubahan iklim dan pemanasan global yang bisa saja mengubah doktrin strategis nasional.
Selain memaparkan ancaman karena pemanasan global yang terjadi, Biden menyentil kondisi kota Jakarta yang berpotensi tenggelam 10 tahun ke depan.
“Apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraannya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan.
Mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena akan tenggelam?” kata Biden.
Baca juga: Anak Buah Anies Prediksi Jakarta Utara Tenggelam pada 2050, Pemprov DKI Cari Solusi: Harus Berbuat
Beberapa bulan sebelumnya, laporan Fitch Solutions Country Risk & Industry Research memprediski wilayah utara Jakarta dapat tenggelam secara menyeluruh pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi lebih lanjut dari pemerintah.
"Tanpa intervensi, para ahli memperkirakan Jakarta Utara akan tenggelam seluruhnya pada 2050," tulis Fitch Solutions Country Risk & Industry Research dalam laporannya, Senin (31/5/2021).
Fitch Solutions Country Risk & Industry Research menyebutkan proyek-proyek infrastruktur pelabuhan dan air di Jakarta menelan biaya konstruksi bernilai tinggi, yakni 62,3 miliar dollar AS (Rp 889,3 triliun).
Tak hanya itu, dibangun juga jaringan pipa sekitar 4,5 miliar dollar AS atau setara Rp 64,2 triliun.
Baca juga: Presiden AS Joe Biden Ramal Jakarta Tenggelam 10 Tahun Lagi, Begini Reaksi Wagub DKI Ariza
Sebagian besar biaya pembangunan infrastruktur ini berasal dari pembangunan proyek tembok laut raksasa atau giant sea wall senilai 40 miliar dollar AS atau setara Rp 571 triliun.
Infrastruktur air ini dirancang untuk melindungi pantai utara Jakarta dari naiknya permukaan air laut dan mengurangi risiko banjir.
Banjir merupakan bencana alam yang kerap melanda Jakarta. Selain karena curah hujan yang tinggi, intrusi air laut juga menjadi penyebab banjir di daerah pesisir.
Penurunan Tanah
Adapun faktor utama yang bisa memicu tenggelamnya Jakarta adalah terjadinya penurunan tanah secara terus menerus.
Laporan dari Kelompok Riset Geodesi, Institut Teknologi Bandung (ITB), HZ Abidin, H Andreas, I Gumilar, dan IRR Wibowo tahun 2015 mengungkapkan, umumnya penurunan tanah di Jakarta memiliki variasi spasial dan temporal, dengan tarif tipikal antara 3 hingga 10 centimeter tiap tahunnya.
Dalam laporan yang berjudul "On Correlation Between Urban Development, Land Subsidence and Flooding Phenomena in Jakarta", dikatakan, faktor dominan yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta adalah pengambilan air tanah yang berlebihan.
Faktor lain yang berpengaruh pada penurunan tanah ialah aktivitas teknonik, konsolidasi alami tanah alluvium, serta beban infrastruktur dan konstruksi. Namun, aktivitas tektonik bukanlah faktor pemicu yang dominan di Jakarta.
Dampak penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat dari retaknya bangunan dan infrastruktur, “tenggelamnya” rumah dan bangunan, dan perubahan sungai kanal dan sistem aliran drainase.
Kemudian perluasan pesisir yang lebih luas dan/atau daerah banjir pedalaman, tidak berfungsinya sistem drainase, dan peningkatan intrusi air laut pedalaman.
"Di wilayah pesisir Jakarta, yang memiliki tingkat penurunan tanah yang relatif lebih tinggi, dampak berupa banjir pantai saat air pasang bahkan lebih merusak," ujar laporan tersebut.
Pada tahun 2010 silam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah mengingatkan gabungan kenaikan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah bakal membuat risiko Jakarta tenggelam makin tinggi.
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Robert Delinom mengungkapkan, gabungan gabungan kenaikan permukaan laut dan penurunan permukaan tanah dapat menyebabkan daerah yang tenggelam menjadi lebih luas.
“Tapi sampai 2050 faktor penurunan tanah lebih dominan (membuat Jakarta tenggelam)," kata Delinom, seperti dikutip dari CNN, Sabtu (31/7/2021).
Di sisi lain, menurut Delinom, faktor lain yang ikut mendukung penurunan permukaan tanah adalah pertambahan bangunan dalam skala masif yang terjadi setiap tahun. Bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, perumahan menyebabkan daerah resapan air semakin menipis.
Hal itu harus ditata ulang oleh pemerintah. Delinom menyebut Jakarta bagian tengah, pembuatan bangunan masif dan perkantoran masih aman dilakukan.
Namun, di bagian selatan Jakarta untuk diperbanyak wilayah terbuka hijau dan lokasi parkir air (tempat bermuara air).
Ia juga meminta pemerintah mengubah pola pembangunan kawasan di Jakarta. Ia pun menyarankan agar wilayah utara Jakarta tidak ada lagi pembangunan masif.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jakarta Terus Alami Penurunan Tanah, Prediksi Biden Bisa Terjadi"