Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dwi Putra Kesuma
TRIBUNJAKARTA.COM, PANCORAN MAS - Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia ( BEM UI ) akan menggelar aksi simbolik dan menyatakan sikap terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Selasa (21/6/2022).
Kegiatan ini akan berlangsung siang ini pukul 14.00 WIB, bertempat di area Patung Kuda Arjuna Wijaya kawasan Monas, Jakarta Pusat.
Ketua BEM UI yang Bayu Satria Utomo, mengatakan, pengesahan RKUHP ini sempat tertunda pada 2019 silam, dan lkini telah dimulai kembali pembahasannya dalam rapat Komisi III DPR RI dengan Pemerintah pada tanggal 25 Mei 2022.
Namun demikian, menurutnya sampai saat ini draf terbaru RKUHP belum dibuka ke publik.
Pada rapat tersebut, dibahas 14 isu krusial dalam RKUHP tanpa membuka keseluruhan draf.
Baca juga: 2.500 Mahasiswa dari BEM UI Bakal Demonstrasi di Patung Kuda
Oleh karena itu, Bayu dan pihaknya menganggap perubahan pada isu-isu bermasalah lainnya sampai saat ini belum dapat diketahui masyarakat secara pasti.
"Merujuk pada draf terakhir pada September 2019, terdapat 24 isu krusial yang menjadi catatan kritis RKUHP yang dianggap bermasalah," kata Bayu dalam siaran resminya yang diterima TribunJakarta, Selasa (21/6/2022).
"Pada rapat Komisi III DPR RI dengan pemerintah pada tanggal 25 Mei 2022, pemerintah dan DPR hanya menyinggung 14 isu krusial yang sebagian besar juga masih menimbulkan polemik. Terkait substansi 14 isu tersebut, terdapat beberapa pasal yang masih menjadi problematika, beberapa di antaranya adalah mengenai living law, pidana mati, contempt of court, penyerangan harkat dan martabat presiden, aborsi, hate speech, dan kohabitasi," timpalnya lagi.
Baca juga: Mahasiswa Demo Lagi, Ini 7 Tuntutan BEM UI dalam Unjuk Rasa di Istana Negara
Diluar 14 isu krusial RKUHP yang dibahas dalam RDP tersebut, menurutnya masih terdapat pasal-pasal bermasalah yang patut dibahas kembali.
"Di antaranya Pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKUHP. Pasal 273 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara," ungkapnya.
"Pasal 273 RKUHP menyiratkan bahwa masyarakat memerlukan izin dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum agar terhindar dari ancaman pidana," sambungnya lagi.
Lebih lanjut, Bayu mengatakan hal ini bertolak belakang dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
Bahkan, menurutnya pihaknya Pasal 273 RKUHP pun merupakan pasal 'karet' musabab tak ada batasan yang konkret.
"Tak hanya itu, Pasal 273 RKUHP pun memuat unsur karet tanpa batasan konkret, yakni “kepentingan umum”, yang rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum," tegasnya.