TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menerima tiga kritikan tajam akhir-akhir ini.
Bahkan, Mantan Wali Kota Jakarta Utara ini sempat dibilang zalim oleh Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) terkait pajak hiburan
Tak hanya itu, Politikus NasDem Ahmad Sahroni juga menyebut Heru Budi berbuat zalim karena membuat nasib warga eks Kampung Bayam terkatung-katung.
Tiga kritikan yang dialamatkan kepada mantan Kepala Sekretariat Presiden (Kasatpres) itu yakni masalah pajak hiburan, penanganan warga eks Kampung Bayam dan terkini sanksi terhadap calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka yang melanggar kampanye di Car Free Day (CFD).
Berikut tiga kritikan yang ditujukan untuk Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono:
1. Pajak Hiburan
Kebijakan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menaikkan tarif pajak hiburan menjadi 40 persen mendapatkan protes.
Ketua Fraksi PAN DPRD DKI Jakarta Bambang Kusumanto menilai hal tersebut sebagai pajak zalim.
"40 persen tarif pajak itu keterlaluan tanpa pertimbangan yang logis,” ucapnya saat dikonfirmasi, Kamis (18/1/2024).
Bambang mengatakan besaran kenaikan yang cukup signifikan dari sebelumnya yang hanya 25 persen ini sangat memberatkan pengusaha.
Oleh sebab itu, ia minta Heru Budi cs segera mengkaji ulang besaran kenaikan tarif pajak tempat hiburan.
“Ini harus direvisi, harus dikembalikan ke tarif sebelumnya 25 persen atau lebih rendah lagi, mengingat ini sektor bisnis hiburan sangat diperlukan untuk recovery dari resesi akibat Covid-19 yang dulu,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija) Hana Suryani mengaku kecewa dengan Heru Budi Hartono yang menaikan tarif pajak hiburan menjadi 40 persen.
Menurutnya, besaran angka tarif pajak hiburan yang naik signifikan dari angka 25 persen menjadi 40 persen sangat memberatkan para pengusaha.
“Ini mah pembunuhan namanya. Jelas-jelas pembunuhan. Jadi, selain kecewa, kesal dan bingung juga karena pembuat kebijakan ini aneh ya,” ucapnya saat dikonfirmasi, Kamis (18/1/2024).
Hana pun mempertanyakan proses penetapan kebijakan tersebut.