Sedangkan tuntutan keduanya mereka meminta kepada pemerintah untuk segera menghapus outsourching dan tolak upah murah atau yang biasa mereka singkat dengan istilah Hostum.
"Dua isu tersebut yang menjadi persoalan buruh dalam 5 tahun terakhir. Omnibus Law atau UU Ciptaker mengakibatkan PHK di mana-mana," kata Said Iqbal.
Said Iqbal menegaskan, UU Ciptaker yang digembar-gemborkan mendatangkan investasi justru menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) di mana-mana."
Jadi tidak benar UU Ciptaker menarik investasi baru dan menyerap tenaga kerja. Yang benar adalah PHK di mana-mana. Tahun 2024, ratusan ribu buruh di PHK, tahun 2023 juga ratusan ribu buruh di PHK," kata Said Iqbal.
Said Iqbal mengatakan, kenaikan upah akibat keberadaan Omnibus Law hanya 1,58 persen.
Padahal inflasi saat ini mencapai 2,8 persen.
"Jadi nggak naik upah kita ini, (yang ada) nombok 1 persen," ujar dia.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi 5,2 persen yang selalu dibanggakan pemerintah, kata Said Iqbal, tidak dinikmati oleh kalangan kelas menengah ke bawah termasuk buruh.
"Yang nikmati orang kaya. Karena ekonomi tumbuh dinikmati oleh orang kaya yang gajinya besar-besar," tuturnya.
Oleh karena itu, Said Iqbal mengatakan bahwa Partai Buruh bersama organisasi serikat buruh menyatakan menolak, dan meminta Mahkamah Konstitusi mencabut Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan dan petani, dan lingkungan hidup dan HAM yang sedang digugat di Mahkamah Konstitusi.
"Bayangkan naik upah murah 1,58 persen. Bahkan di daerah ada yang naiknya Rp 14.000 sebulan, berarti sebulan kira-kira cuma Rp 500 perak, ke toilet aja Rp 2000 perak," kata Said Iqbal.
Dapatkan Informasi lain dari TribunJakarta.com via saluran Whatsapp di sini
Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News