Viral di Media Sosial

Susno Duadji Sebut Aipda Wibowo Hasyim Cengeng, Eks Wakapolri Saran Dipecat Jika Terbukti

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Susno Duadji, Supriyani dan Oegroseno.

TRIBUNJAKARTA.COM - Duo eks petinggi Polri, Komjen (Purn) Susno Duadji dan Komjen (Purn) Oegroseno menaruh perhatian besar di kasus guru honorer Supriyani yang dituduh menganiaya anak dari polisi, Aipda Wibowo Hasyim di Konawe Selatan.

Jika Susno menyebut bahwa Wibowo Hasyim ialah polisi cengeng yang asal main lapor, Oegroseno, yang dulu sempat menjadi Wakapolri di tahun 2013 itu, menyarankan agar Aipda Wibowo dan oknum-oknum polisi untuk diberhentikan secara tidak hormat apabila terbukti. 

Oegroseno mengatakan Divisi Propam Polri diminta turun tangan untuk memeriksa Aipda Wibowo Hasyim dan oknum-oknum polisi yang diduga 'bermain' dalam perkara ini. 

Sebelumnya, Kuasa Hukum Supriyani, Andri Darmawan, membeberkan bahwa ada sejumlah pelanggaran kode etik yang dilakukan para oknum polisi dalam menangani kasus Guru Supriyani. 

"Kalau apa yang diceritakan Pak Andri seperti itu (ada pelanggaran) saya rasa Propam segera turun tangan apabila berkaitan dengan jual beli perkara, pemerasan. Itu harus diproses kode etik. Hukuman terberat adalah PTDH (pemberhentian secara tidak hormat)," ujar Oegroseno seperti dikutip dari Nusantara TV yang tayang pada Senin (28/10/2024). 

Oegroseno meminta agar Polri segera memecat oknum-oknum polisi yang hanya membikin buruk citra institusi tersebut. 

"Polisi yang ingin berbuat baik masih banyak jadi jangan ragu-ragu untuk menindak, memberhentikan tidak dengan hormat oknum-oknum polisi yang memeras atau meminta uang," ujarnya. 

Pelanggaran prosedur

Sidang kedua Supriyani, guru honorer yang didakwa memukul anak polisi, berlangsung pada Senin (28/10/2024).

Dalam eksepsinya, pihak Supriyani membeberkan kesalahan prosedur sejak awal dan kuatnya dugaan kriminalisasi.

Namun, mereka tetap berharap sidang dilanjutkan agar pembuktian materiil dan kesalahan prosedur bisa terang benderang.

Setelah sidang perdana pekan lalu, sidang kedua kasus Supriyani kembali berlangsung di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Sidang mengagendakan pembacaan nota keberatan atau eksepsi.

Supriyani hadir memakai baju Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
 
”Pada kesempatan ini, kami akan menyampaikan keberatan yang pada pokoknya menyoroti surat dakwaan JPU yang dibuat berdasarkan hasil penyidikan yang tidak sesuai dengan prosedur sebagaimana ketentuan perundang-undangan dan juga tindakan penyidik dalam melakukan penyidikan yang melanggar kode etik,” kata kuasa hukum Supriyani, Andri Darmawan seperti dikutip dari Kompas.id.

Menurut Andri, dakwaan jaksa tidak dapat diterima.

Alasannya, dakwaan tersebut berdasarkan hasil penyidikan yang tidak sesuai dengan aturan.

Mulai dari prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penyidik yang telah melanggar kode etik profesi Polri, hingga penyidikan tidak sah.

Dalam pemeriksaan anak korban dan anak saksi pada 5 Juni 2024, misalnya, tidak didampingi pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, sebagaimana dapat dilihat dalam berita acara perkara anak korban dan saksi anak.

Meski begitu, penyidik baru meminta pendampingan dari dinas sosial pada 7 Juni 2024.

Oleh karena itu, laporan sosial pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum yang dibuat Novita Sari sebagai pekerja sosial/tenaga kesejahteraan sosial perlindungan anak tertanggal 18 Juli 2024 adalah laporan palsu.

Sebab, ia tidak pernah mendampingi saat dilakukan pemeriksaan terhadap korban dan saksi anak.

Sementara itu, untuk pelanggaran kode etik, diketahui pada 26 April 2024 atau hari yang sama perkara dilaporkan di Polsek Baito, Ajun Inspektur Dua Wibowo Hasyim, selaku orangtua korban, sudah terlibat dalam kegiatan penyidikan bersama-sama penyidik Polsek Baito.

Mereka mendatangi SDN 04 Baito untuk mengambil dan mengamankan barang bukti sapu ijuk sebagaimana keterangan saksi Siti Nuraisah dalam BAP.

Padahal, Aipda Wibowo Hasyim bukanlah seorang penyidik.

Penyidik di Polsek Baito juga diketahui selalu menekan dan memaksa Supriani agar mengakui perbuatan telah memukul korban serta menyarankan Supriani menemui orangtua korban untuk mengakui perbuatan dan meminta maaf.

Hal itu agar proses hukum dapat dihentikan sebagaimana keterangan saksi Sanaali dalam BAP.

Oleh karena itu, Andri melanjutkan, pihaknya berkesimpulan, dakwaan disusun dengan pelanggaran prosedur.

Meski begitu, pihaknya memohon agar majelis hakim menolak nota keberatan ini dan sidang tetap dilanjutkan.

”Sebab, kami tidak hanya ingin berhenti pada pembuktian formil belaka, tapi juga pada pokok materiil. Supriyani, guru honorer ini, dikriminalisasi oleh hakim dan jaksa, dan agar para oknum yang terlibat dihukum seberat-beratnya,” katanya.

Polisi cengeng

Eks Kabareskrim Polri, Komjen (Purn) Susno Duadji kerap memberi kritikan secara blak-blakan tiap kasus yang melibatkan institusi Polri. 

Teranyar, Susno mengkritisi kasus guru honorer Supriyani yang dituduh menganiaya anak dari polisi, Aipda Wibowo Hasyim di Konawe Selatan. 

Susno justru memberi kritikan menohok kepada Aipda Wibowo, ayah dari si anak itu. 

Menurutnya, kasus ini dipenuhi kejanggalan. 

Ia juga mencium bau-bau rekayasa dalam kasus penganiayaan yang dilakukan Supriyani. 

Bahkan Susno menyebut Aipda Wibowo sebagai polisi cengeng asal main lapor jika pemukulan yang dilakukan Supriyani benar. 

"Yang cengeng anaknya baru dicubit gitu aja, kalau benar. Tapi, ternyata tidak benar," katanya seperti dikutip dari Nusantara TV yang tayang pada Jumat (25/10/2024).

Susno melanjutkan jika Supriyani terbukti melakukan pemukulan, sebenarnya Supriyani tidak bisa dituntut karena ia dilindungi oleh hukum. 

Ada peraturan yang membuat seorang guru kebal hukum ketika memukul anak didiknya.

"Nah, kita perlu bandingkan dengan era saya waktu jadi murid. Digebuk pakai kayu enggak apa-apa. Tapi, sekarang kan banyak orang tua yang cengeng, maka guru itu dilindungi secara hukum," jelasnya. 

Susno pun menyindir agar para penegak hukum untuk belajar kembali soal hukum. 

"Anda itu penegak hukum ada aturan untuk guru itu. Ada yurisprudensi untuk Mahkamah Agung, ada peraturan pemerintah tahun 2004. Tidak boleh begitu," pungkasnya. 

Dugaan rekayasa

Susno Duadji merasa prihatin menanggapi kasus guru honorer Supriyani (36) yang dituduh memukul anak polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. 

Berdasarkan pengamatannya, Susno mencium adanya 'bau' rekayasa yang sangat tinggi dalam kasus ini. 

Susno secara blak-blakan menyebut bahwa penyidik dan jaksa salah dalam menangani kasus ini dan tidak profesional.

"Kasus ini bau-baunya rekayasanya sangat tinggi. Kenapa saya menjadi sangat sedih? Pertama kasus ini sebenarnya tidak menjadi pidana, kalau penyidiknya, jaksanya, itu cerdas," ujar Susno Duadji seperti dikutip dari Youtube Nusantara TV yang tayang pada Jumat (25/10/2024). 

Menurut Susno, guru sah-sah saja memukul anak didiknya jika berbuat kesalahan. 

Tindakan yang dilakukan oleh Supriyani, jika terbukti, tidak bisa masuk ke dalam ranah pidana. 

Guru dilindungi oleh hukum. 

"Kalau guru memukul muridnya, maka akan terbebas karena sudah terlindungi oleh yurisprudensi Mahkamah Agung, bahwa perbuatan seperti itu bukan perbuatan pidana, tidak bisa dipidana. Yang kedua, ada peraturan pemerintah tahun 2004 pasal 39 ayat 1, Pasal 39 ayat 2, Pasal 40, Pasal 41 yang mengatakan itu tidak bisa dihukum, itu bukan perbuatan pidana yang seperti itu," katanya. 

Susno menduga pemukulan itu tidak dilakukan oleh Supriyani. 

Luka anak didiknya itu menurut Susno mungkin berasal dari perkelahian atau terjatuh. 

"Lebih parah lagi saya mendengar di medsos bahwa guru itu tidak melakukan hal itu. Si Ibu Supriyani ngajar di Kelas 1B muridnya itu di kelas 1A, bagaimana dia memukulnya? Nah, saya khawatir terjadi di luar sekolah, apakah dia berkelahi, jatuh atau di dalam rumah," jelasnya.

Di mata Susno, kasus ini ironis sekaligus bikin miris. 

Sebab, jaksa, selaku aparat penegak hukum, memberikan pernyataan dalam kasus ini yang mengherankan Susno. 

"Saya mendengar statement jaksa sangat miris di sini, mengatakan apa? 'Kami sudah menerima berkas sudah ada'. Ingat ini pidana, pidana itu yang diminta adalah kebenaran materiil. Ini (kasus) bukan perkara perdata, kalau perkara perdata sudah ada berkas, sudah ada pemeriksaan saksi, it's okay," jelasnya. 

Sementara itu, anak-anak dijadikan saksi dalam kasus ini.

Padahal, anak tidak bisa dijadikan saksi. 

"Kalau saksinya korban itu anak-anak, maka dia bukan saksi. Gugur itu saksi. Siapa saksi yang melihat? Saksi yang melihat patut dipertanyakan," katanya. 

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

 

 

 

 

Berita Terkini