Pilkada 2024

Deddy Sitorus Bongkar Keterlibatan Partai Coklat di Pilkada 2024, Ada Peran Besar 2 Jenderal Polisi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Deddy Sitorus, ilustrasi Polisi dan ilustrasi pemilu

TRIBUNJAKARTA.COM - Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif, Deddy Yevri Sitorus, secara blak-blakan menyebut adanya keterlibatan yang besar dari 'Partai Coklat' di Pilkada 2024 untuk memenangkan paslon tertentu.

Bahkan, Deddy Sitorus menyebut ada dua nama jenderal polisi yang terlibat langsung mencampuri pilkada tersebut. 

Sembari berkelakar, Deddy mengaku bahagia dengan Pilkada 2024 yang dihelat tanpa adanya pertumpahan darah, tetapi justru bikin naik darah.

"Iya karena peserta pemilu tuh bukan hanya partai-partai yang ada, partai coklat nih yang main," kata Deddy seperti dikutip dari acara Satu Meja yang tayang di Kompas TV pada Rabu (27/11/2024). 

"Partai Coklat itu polisi dan ASN. Jadi, kita harus berterimakasih karena pemenang pemilu sebenarnya Jenderal Sigit (Kapolri) dan Jenderal (Purn) Tito (Mendagri) kalau menurut saya," tambahnya. 

Deddy mengeklaim telah menemukan sejumlah fakta di lapangan terkait keterlibatan Partai Coklat yang dipimpin dua sosok tersebut. 

Ia melihat adanya mobilisasi besar-besaran dari instrumen kekuasaan negara yakni polisi dan ASN untuk memenangkan salah satu paslon.

"Seperti kita lihat di Sumatera Utara, penyebaran beras dan yang yang begitu masif ada beras 5 Kg dengan inisial BN, Beras Nusantara. Ini kan sangat jelas terasosiasi dengan salah satu calon, Bobby Nasution, dan itu masif sekali tertangkap di Deli Serdang, misalnya termasuk di Kota Medan," ujarnya.

"Itu yang kerja camat, lurah dan kalau di sana istilahnya kepling. Kalau kita mungkin RT jadi itu yg membuat darah tinggi kita naik," tambahnya.

Dikutip dari Kompas.id pada 28 November 2024, Deddy Yevri Sitorus berpandangan, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo harus dievaluasi dengan melihat segala bentuk kecurangan yang melibatkan polisi ini, 

Menurut dia, Listyo adalah orang paling bertanggung jawab atas cawe-cawe kepolisian dalam Pilkada 2024. Sebab, Partai Coklat bergerak sudah berdasarkan komando.

”Beliau (Listyo) bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin, yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita. Ini tanggung jawab yang saya kira harus dipikul sepanjang sejarah kita,” ujarnya.

Intimidasi dari Parcok

Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan, sejumlah kecurangan ditemukan di Pilkada Sumut.

Di Pilkada Sumut, PDI-P mengusung Edy Rahmayadi-Hasan Basri melawan menantu Presiden ke-7 RI Joko Widodo, Bobby Nasution, yang berpasangan dengan Surya.

Berbagai macam cara disebut dilakukan untuk bisa memenangkan Bobby, mulai dari pengerahan Parcok, bansos, hingga ASN.

Salah satu cara Parcok ialah mengintimidasi pemerintah desa di Sumut untuk dijadikan tim sukses di dalam pemungutan suara. Bahkan, ada oknum di polsek yang bertugas untuk mengamankan suara Bobby.

Namun, kata Djarot, mereka yang mengetahui hal itu berupaya dibungkam.

”Saya bertemu dengan beberapa teman di sana termasuk orang-orang desa yang diintimasi oleh Parcok. Saya bilang, sebaiknya kalau bicara apa adanya dan mau bersaksi, tetapi dia takut. Kenapa? Karena akan dicari-cari dan sudah dicari-cari salahnya, terutama di dalam pemerintahan dan anggaran desa. Semua ini suruh mereka hingga mereka merasa ketakutan. Inilah bentuk intimidasi secara nyata dan dia mengatakan pada saya, 'Mohon maaf Pak Djarot saya tidak berani',” ujar Djarot dikutip dari Kompas.id yang tayang 28 November 2024. 

Meski demikian, Djarot menyebut tim hukum PDI-P di Sumut telah menghimpun barang bukti.

Nantinya, barang bukti ini akan diadukan lewat Bawaslu.

Ia berharap laporan itu dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur, meski Djarot menduga adanya oknum penyelenggara pemilu yang ”masuk angin”.

Atas temuan itu, Djarot mengingatkan, menang dan kalah dalam demokrasi adalah hal wajar.

Namun, Djarot mempersoalkan cara yang ditempuh Bobby dalam meraih kemenangan itu tergolong tidak wajar.

”Persoalannya adalah di dalam memenangi proses demokrasi dalam negara apakah kira-kira demokrasi nilai-nilai demokrasi, norma-norma negara itu bisa dilaksanakan dengan baik atau tidak, apakah di dalam memenangkan pasangan calon tertentu itu juga menempatkan ada etika moral dalam diri seseorang,” tuturnya. (TribunJakarta.com/Kompas.id)

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

 

Berita Terkini