TRIBUNJAKARTA.COM - Aturan royalti musik untuk usaha kafe dan restoran menuai respons dari pegiat media sosial sekaligus Komisaris Utama Independen PT Bank BJB, Mardigu Wowiek Prasantyo alias Bossman Mardigu.
Dalam postingannya terkait kebijakan itu yang diunggah pada Selasa (5/8/2025), ia bakal menagih balik kepada pemilik lagu jika lagu ciptaannya diputar di restoran miliknya.
Ia menganggap sebagai biaya promosi atas lagu yang diputar di restorannya.
"Kalau nyetel di resto gue, gue tagih yang punya lagu dengan nilai yang sama, BAYAR BIAYA PROMOSI, komen," tulisnya dikutip dari Instagram resminya.
Postingan Mardigu pun menuai banyak komentar dari warga net.
Tak sedikit yang mendukung pernyataannya tersebut.
"Sependapat itu maksud saya, media promosi yang harusnya gratis, ini malah yang promosiin disuruh bayar. Aneh enggak ya, tapi apakah harus sudah mulai terbiasa dengan kebijakan-kebijakan seperti ini," tulis @abduldhayeri.
"Promosi juga yak buat lagunya. Harus ada win win solution sih," tulis @igoy_yogi89.
"Padahal kalau kita sering putar lagunya si artis atau grup band toh mereka jadi terkenal. Branding gratisan terkenal, ya sudah enggak usah nyetel lagu mereka. Nyetel standup komedi aja," tulis @ndrie_cus.
Sebelumnya diberitakan, aturan royalti musik untuk penggunaan komersial seperti di kafe dan restoran terus menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha.
Di tengah simpang siur informasi mengenai tarif yang dianggap bisa mencapai Rp 120.000 per kursi, banyak yang beralih menggunakan rekaman suara alam sebagai alternatif. Namun, langkah ini ternyata bukanlah solusi untuk terbebas dari kewajiban membayar.
Kebingungan ini dirasakan langsung oleh para pengusaha di lapangan.
Salah satunya adalah Rifkyanto Putro, pemilik kedai kopi di Yogyakarta, yang mengaku kesulitan memahami skema perhitungan tarif royalti musik.
"Rp 120.000 dikalikan dengan 25 kursi, nah itu baru satu hak cipta atau bagaimana? Yang belum jelas itu kan,” ujar Putro kepada Kompas.com, Senin (4/8/2025).
Rifkyanto mengaku sudah mengetahui adanya aturan pembayaran royalti untuk pemutaran lagu di tempat umum sejak tahun 2016.
Namun, hingga kini ia masih belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai cara pembayaran, tarif pasti, serta ke mana dana tersebut harus disetorkan.
“Alternatif mungkin enggak ada musik dulu sampai ada kejelasan. Mungkin mulai bulan ini (tidak putar musik),” ujar Rifkyanto.
Ia menambahkan bahwa keputusan untuk menghentikan pemutaran musik tidak terlalu berdampak pada konsep usahanya, karena sejak awal Wheelsaid Coffee memang tidak menonjolkan elemen musik. “Dari awal konsep coffee shop enggak ada lagu, jadi flow pembeli cepat,” jelasnya.
Keluhan Rifkyanto bukan satu-satunya, ada banyak pemilik kafe lain yang ketakutan. Apalagi sebelumnya restoran Mie Gacoan di Bali terseret pidana karena masalah tersebut.
Putar Suara Alam Kena Royalti
Jika Rifkyanto memilih tidak memutar musik, bagaimana dengan pemilik usaha yang memilik memutar lagu dari alternatif lain, termasuk menggunakan rekaman suara alam seperti kicauan burung atau gemericik air, dengan asumsi hal tersebut bebas dari biaya?
Menanggapi fenomena ini, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, memberikan penjelasan tegas.
Menurutnya, penggunaan rekaman suara alam untuk tujuan komersial tetap memiliki hak terkait yang melekat, yakni hak produser rekaman (fonogram).
“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma saat dihubungi Kompas.com via telepon.
Dharma menekankan bahwa ada hak terkait milik produser yang merekam suara tersebut sehingga kewajiban pembayaran tetap ada. Ia menyayangkan munculnya narasi bahwa pembayaran royalti dianggap memberatkan pelaku usaha.
“Harus bayar dong, itu ada hak pencipta. Itu Undang-Undang. Bagaimana kita pakai sebagai menu tapi enggak mau bayar? Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi,” ujar Dharma.
Ia juga mengkritik narasi yang seolah-olah kewajiban membayar royalti bertujuan mematikan usaha kecil seperti kafe.
“Ada narasi yang sengaja dibangun keliru, seakan-akan (kami) mau mematikan kafe. Itu keliru sekali. Karena dia enggak baca aturannya, enggak baca Undang-Undang. Bahkan belum bayar, udah kembangkan narasi seperti itu,” tegas Dharma.
Dengan demikian, baik pemutaran lagu ciptaan musisi maupun rekaman suara alam untuk kepentingan komersial sama-sama memiliki kewajiban royalti yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (TribunJakarta.com/Kompas.com).