Dulu Belum Jadi Menteri, Mahfud MD Cuma Ingat 2 Hal Soal Silfester Matutina, Ajak Ribut Rocky Gerung

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNJAKARTA.COM - Menteri Era Jokowi, Mahfud MD mengaku cuma ingat dua hal mengenai Silfester Matutina.

Nama  Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) itu menjadi sorotan karena belum dieksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Padahal, Silfester Matutina telah divonis 1,5 tahun atas kasus penghinaan terhadap Wakil Presiden ke-10 dan 12 Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK).

Mahfud MD mengingat kali pertama ia mengetahui sosok relawan Jokowi itu.

Dimana, Silfester Matutina nyaris adu jotos dengan pengamat politik Rocky Gerung pada September 2024 lalu.

"Saya tahu tentang Silfester ini baru dua kali melihat. Pertama, waktu dia mau berkelahi dengan Rocky Gerung itu, yang bilang, 'Waduh, ini saya Fakultas Hukum juga, saya pengacara,'" kata Mahfud MD dikutip dari tayangan Sapa Indonesia Malam yang diunggah di kanal YouTube KompasTV pada Jumat (15/8/2025).

"Terus saya bertanya-tanya, 'Ini dari universitas mana?' Ada yang bilang tuh, dari universitas tertutup gitu. Tertutup itu artinya universitas sudah ditutup," tambahnya.

Peristiwa kedua yang diingat Mahfud MD yakni saat kasus Silfester Matutina diungkit pakar telematika Roy Suryo.

Roy Suryi menyebut Silfester Matutina sebagai narapidana atau terdakwa kasus fitnah terhadap JK, sapaan akrab Jusuf Kalla.

Mahfud MD lalu mencari sumber putusan hukum terhadap Silfester.

"Terakhir saya baru tahu kalau dia itu narapidana, terpidana. Itu sesudah ribut dengan Roy Suryo di debat televisi yang Roy Suryo bilang, 'kamu itu narapidana, kamu terpidana tapi belum masuk.' Iya kan?" papar Mahfud MD.

"Saya baru tahu itu, di situ saya lalu mencari sumber. Ternyata betul, ada direktori putusan MA nomor 287 tanggal 20 Mei tahun 2019, ini saya belum jadi menteri," sambungnya.

Ia pun menanggapi alasan dirinya tidak menangani kasus Silfester Matutina saat menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM RI (Menkopolhukam).

Mahfud MD menjabat sebagai Menkopolhukam RI dalam Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden RI ke-13 Ma'ruf Amin.

Sebagai Menkopolhukam RI periode 23 Oktober 2019 – 1 Februari 2024, ia menjadi tokoh sipil pertama yang mengemban jabatan tersebut.

Mahfud MD menuturkan saat diangkat Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2019, kasus Silfester Matutina tidak muncul ke publik.

Mahfud MD pun menyatakan, jika saat itu kasus Silfester sudah mencuat, maka jelas dirinya akan bertindak tegas.

"Anda jangan mengatakan, 'Lah, Pak Mahfud ngapain aja 2019?' Saya 2019 itu belum jadi menteri," jelas Mahfud MD.

"Ketika sudah menjadi menteri, kasus ini tidak muncul. Tidak menjadi persoalan publik. Sehingga, bukan urusan Menko untuk mencari-cari hal yang tidak menjadi masalah. Kalau pada saat itu menjadi masalah, pasti saya suruh tangkap gitu. Karena ini baru muncul sesudah terjadi perubahan politik," paparnya.

Selanjutnya, Mahfud MD menyoroti putusan vonis yang sudah inkrah dan pengakuan Silfester yang sudah menjalani proses hukum dan berdamai dengan Jusuf Kalla. 

Menurut Mahfud MD, jika belum dipenjara, itu jelas bertentangan dengan pengakuan Silfester yang menyebut dirinya sudah menjalani proses hukum.

Mahfud MD juga menegaskan, pengakuan Silfester soal sudah berdamai dengan Jusuf Kalla tidak valid, sebab tidak ada istilah 'damai' dalam kasus pidana.

"Itu dia sudah divonis inkrah dan sekarang mengaku sudah menjalani proses hukum. Kita tanya, 'proses hukum apa inkrah itu, kecuali masuk penjara,' kan gitu. 'Saya sudah damai dan diberi maaf Jusuf Kalla.' Tidak ada damai di dalam vonis hukum pidana itu," tegasnya.

Menurut Mahfud MD, pernyataan damai itu hanya berkaitan dengan urusan pribadi.

Sementara, jika sudah masuk ranah hukum pidana, maka seorang terpidana berurusan langsung dengan negara, dan negara sendiri dalam hal hukum diwakili oleh kejaksaan.

"Damai itu urusan pribadi. Kalau orang terpidana itu musuhnya bukan orang yang menjadi korban, tetapi musuh orang terpidana itu adalah negara, dan negara itu diwakili oleh kejaksaan," jelas Mahfud MD.

Kejari Jakarta Selatan Digugat

Di sisi lain, Kejari Jakarta Selatan digugat oleh Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI).

Ketua Umum ARRUKI Marselinus Edwin Hardhian, melayangkan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. 

Gugatan ini dipicu oleh tidak dilaksanakannya eksekusi terhadap Silfester Matutina, terpidana kasus pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, meski vonisnya telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019.

Edwin menyebut bahwa lambannya eksekusi tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.

"Putusan kasasi Mahkamah Agung sudah inkrah sejak 2019. Tapi hingga kini belum dieksekusi. Ini mencederai kepercayaan publik terhadap sistem hukum," ujar Edwin dalam podcast Saksi Kata di kanal YouTube Tribunnews, Jumat (15/8/2025).

Ia menekankan bahwa eksekusi merupakan tahap akhir dari proses hukum pidana. 

Tanpa pelaksanaan vonis, seluruh tahapan hukum yang telah dilalui menjadi sia-sia.

"Seluruh upaya dalam proses hukum, dari penyelidikan hingga putusan, harus berujung pada eksekusi. Kalau tidak, untuk apa sistem ini dibangun?" tegasnya.

Edwin juga menyoroti dugaan pembangkangan Kejari Jakarta Selatan terhadap perintah Kejaksaan Agung. 

Ia merujuk pada pernyataan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, yang menegaskan bahwa Silfester harus dieksekusi meski tidak memenuhi panggilan.

"Pak Anang sudah menyatakan dengan tegas bahwa eksekusi harus dilakukan. Tapi Kejari Jaksel tetap diam. Kalau tidak tunduk pada Kejagung, mereka tunduk pada siapa?" ujarnya.

ARRUKI memilih jalur praperadilan sebagai forum strategis untuk menantang Kejari Jakarta Selatan secara langsung. 

Dalam persidangan, Kejari diwajibkan memberikan jawaban resmi atas gugatan tersebut, yang diharapkan dapat mengungkap alasan hukum—atau bahkan non-hukum—di balik penundaan eksekusi selama enam tahun.

"Lewat praperadilan, kami bisa mendapatkan jawaban yang jelas. Ini bukan sekadar gugatan, tapi upaya membuka tabir ketidakjelasan hukum," kata Edwin.

Dalam petitum gugatannya, ARRUKI meminta hakim menyatakan bahwa Kejari Jakarta Selatan telah melakukan penghentian penuntutan secara tidak sah.

Mereka juga mendesak agar Kejari segera melaksanakan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan hukuman 1,5 tahun penjara kepada Silfester Matutina.

Kirim Surat

ARRUKI juga akan mengirim surat resmi kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk meminta pencopotan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

"Apapun hasil putusan praperadilan nanti, kami akan bersurat kepada Jaksa Agung. Kami minta agar Kajari Jakarta Selatan dicopot dan diganti," ujar Edwin saat tampil di podcast Saksi Kata Tribunnews, Jumat (15/8/2025).

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari gugatan praperadilan yang diajukan ARRUKI atas lambannya eksekusi terhadap Silfester Matutina, terpidana kasus pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. 

Putusan kasasi Mahkamah Agung atas kasus tersebut telah berkekuatan hukum tetap sejak 2019, namun belum juga dijalankan hingga kini.

Edwin menilai pembangkangan Kejari Jakarta Selatan berpotensi mencoreng reputasi Kejaksaan Agung secara keseluruhan.

"Jangan sampai satu kasus yang seharusnya menjadi tanggung jawab Kejari Jaksel justru merusak citra Kejaksaan Agung di mata publik. Kami ingin institusi ini tetap dihormati, dan itu butuh pemimpin yang berani dan tegas," tegasnya.

Tak berhenti di situ, ARRUKI juga menyiapkan opsi hukum lanjutan jika surat kepada Jaksa Agung tidak mendapat respons. Marselinus menyatakan pihaknya siap mengajukan gugatan praperadilan kedua, kali ini dengan Jaksa Agung sebagai pihak termohon.

"Praperadilan itu tidak dibatasi hanya satu kali. Jika surat kami tidak ditanggapi, kami anggap Jaksa Agung melakukan pembiaran dan gagal mengawasi bawahannya," ujarnya.

Gugatan praperadilan pertama ARRUKI terhadap Kejari Jakarta Selatan telah terdaftar dengan nomor perkara 96/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL. 

Gugatan ini menuding Kejari Jaksel melakukan penghentian penuntutan secara tidak sah karena tidak mengeksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 278 yang telah inkrah selama enam tahun. Sidang perdana dijadwalkan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 25 Agustus 2025.

Mengenal ARRUKI dan Marselinus Edwin Hardhian

ARRUKI adalah organisasi masyarakat sipil yang didirikan oleh Marselinus Edwin Hardhian, seorang advokat muda yang aktif mengadvokasi isu-isu hukum dan keadilan. 

Ia dikenal vokal dalam mendorong penegakan hukum yang transparan dan akuntabel.

Edwin merupakan putra dari Boyamin Saiman, tokoh antikorupsi yang dikenal luas sebagai pendiri dan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). 

Boyamin kerap menjadi pelapor dalam berbagai kasus besar dan menggunakan jalur praperadilan sebagai alat kontrol terhadap penegak hukum.

Keluarga Marselinus juga dikenal aktif dalam dunia hukum. 

Adiknya, Almas Tsaqibbirru, pernah mencatat sejarah saat masih kuliah di Universitas Surakarta dengan memenangkan gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

 Duduk Perkara 

Silfester Matutina telah dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh tim kuasa hukum Jusuf Kalla pada 29 Mei 2017 lalu, terkait kasus dugaan pencemaran nama baik/fitnah.

Laporan ini dipicu oleh orasi Silfester pada 15 Mei 2017 di depan Mabes Polri.

Saat itu, ia menuding Jusuf Kalla menggunakan isu SARA untuk memenangkan pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Selain itu, Silfester disinyalir telah menyebut keluarga Kalla sebagai penyebab kemiskinan akibat dugaan korupsi dan nepotisme. 

Tak lama setelah orasi ini, Silfester bersikukuh tidak bermaksud untuk memfitnah Jusuf Kalla.

"Saya merasa tidak memfitnah JK, tapi adalah bentuk anak bangsa menyikapi masalah bangsa kita," ujarnya, dikutip dari Kompas.com, Senin (29/5/2017).

Pada 2019, kasus pun bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan ia dijatuhi vonis 1 tahun penjara oleh majelis hakim.

Lalu, Silfester mengajukan banding. Namun, hasil putusan banding hingga kasasi menyatakan Silfester bersalah, sehingga, masih pada 2019, masa hukumannya ditambah menjadi 1,5 tahun.

Vonis dijatuhkan Mahkamah Agung pada Mei 2019 melalui putusan kasasi nomor 287 K/Pid/2019, dan menyatakan Silfester bersalah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP.

Akan tetapi, meski vonis tersebut sudah inkrah, hingga Agustus 2025 ini atau lebih dari enam  tahun berselang, Silfester belum pernah ditahan. (TribunJakarta.com/Tribunnews.com)

 

 

Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

Berita Terkini