Penolakan Raperda KTR Jakarta Menguat: Pedagang Keluhkan Dampak Ekonomi

Rencana pengesahan Raperda KTR oleh DPRD DKI Jakarta memicu penolakan dari sejumlah organisasi pelaku usaha kecil.

Tribunnews/Ferryal Immanuel
Ilustrasi warteg - Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) menganggap sejumlah pasal dalam Raperda KTR berpotensi menekan ekonomi rakyat kecil dan mengancam keberlangsungan usaha warung makan, pasar tradisional, dan UMKM. 

TRIBUNJAKARTA.COM - Rencana pengesahan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) oleh DPRD DKI Jakarta memicu penolakan dari sejumlah organisasi pelaku usaha kecil.

Para pedagang menganggap sejumlah pasal dalam Raperda KTR berpotensi menekan ekonomi rakyat kecil dan mengancam keberlangsungan usaha warung makan, pasar tradisional, dan UMKM.

Salah satunya disampaikan oleh Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni.

Ia mengaku kecewa terhadap sikap Panitia Khusus DPRD DKI Jakarta yang tetap meloloskan pasal-pasal zonasi pelarangan penjualan rokok, pemberlakuan izin penjualan, hingga larangan pemajangan rokok. 

“Kami kecewa, aspirasi pedagang kecil tidak didengarkan. Raperda KTR yang dipaksakan ini akan semakin menindas usaha rakyat kecil,” ujar Mukroni, Jumat (10/10/2025).

Mukroni menyoroti bahwa lebih dari 25 ribu warteg telah tutup pasca pandemi, dan aturan baru ini berpotensi mempercepat kebangkrutan usaha yang tersisa.

Ia juga menegaskan bahwa perluasan kawasan tanpa rokok dan zonasi pelarangan penjualan hingga warung makan maupun pasar akan membuat pelanggan habis dan memperburuk kondisi ekonomi pedagang kecil. 

Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburohman.

“Kami keberatan jika pasar tradisional dimasukkan dalam perluasan KTR. Ini jelas akan mengurangi pendapatan pedagang,” kata dia,

Ia juga menolak pasal zonasi pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.

Sebab, ia menilai aturan tersebut tidak realistis dan berpotensi mengancam mata pencaharian jutaan pedagang di seluruh Indonesia.

APPSI menegaskan bahwa pemerintah seharusnya fokus pada edukasi, pembatasan usia dan pengaturan, bukan pelarangan total. 

Perlu Partisipasi Publik

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, menyoroti minimnya partisipasi publik dalam penyusunan Raperda KTR Jakarta.

Ia menegaskan bahwa sebuah peraturan daerah seharusnya mencerminkan seluruh komponen masyarakat, termasuk pelaku usaha kecil yang terdampak langsung oleh regulasi tersebut.

“Kalau dilihat banyak asosiasi dan pedagang yang protes, artinya penyusunan minim partisipasi publik. Harusnya raperda bersifat partisipatif karena ini diatur dalam UUD dalam pembentukan perundang-undangan,” ujarnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved