Pengamat: Raperda KTR Dinilai Berisiko “Matikan” Ekonomi Malam Jakarta

Rencana penerapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) di Jakarta menuai pro dan kontra. 

TribunJakarta.com/Elga Hikari Putra
Raperda KTR. Ketua Umum Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia), Agung Nugroho menyoroti Raperda KTR yang menuai pro dan kontra. TRIBUNJAKARTA.COM/ELGA PUTRA 

TRIBUNJAKARTA.COM - Rencana penerapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) di Jakarta menuai pro dan kontra. 

Di balik niat baik menciptakan udara bersih dan lingkungan sehat, sejumlah pihak menilai kebijakan ini bisa memukul sektor hiburan malam yang menjadi salah satu denyut ekonomi di Jakarta.

Menurut Ketua Umum Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia), Agung Nugroho, penerapan KTR seharusnya disesuaikan dengan karakter wilayah dan aktivitas warganya.

“Jakarta memang ingin lebih sehat, tapi jangan sampai malamnya justru mati muda. 

Kesehatan publik penting, tapi ekonomi kreatif dan hiburan malam juga bagian dari kehidupan kota,” ujarnya di Jakarta, Rabu (15/10/2025).

Dalam Raperda itu, seluruh tempat hiburan malam, seperti bar, lounge, karaoke, dan klub, termasuk dalam kategori kawasan tanpa rokok. 

Pengunjung dilarang merokok di dalam ruangan, pengelola dilarang menjual atau menampilkan produk tembakau, serta tak boleh menerima sponsor dari perusahaan rokok.

Menurut Agung, kebijakan tersebut bisa berdampak besar terhadap ekosistem hiburan malam yang selama ini hidup dari sponsor dan interaksi sosial.

“Banyak event musik, konser, dan kegiatan hiburan yang disokong sponsor rokok. 

Kalau semua dihapus, ekonomi malam Jakarta bisa lumpuh. Bukan cuma pengusaha yang rugi, tapi juga DJ, teknisi, penari, bartender, dan pekerja lainnya,” katanya.

Selain sponsor, Agung juga menyoroti kewajiban menyediakan ruang merokok khusus yang terpisah dan terbuka. 

Mayoritas tempat hiburan malam di Jakarta, menurutnya, tidak memiliki lahan terbuka karena berada di gedung bertingkat atau ruko.

“Renovasi agar sesuai aturan bisa menelan biaya ratusan juta rupiah. Bagi usaha kecil menengah, ini beban berat,” ujarnya.

Ia menambahkan, tempat hiburan malam bukan ruang publik umum seperti sekolah atau taman anak-anak, melainkan ruang sosial dewasa yang beroperasi dengan izin dan pembatasan usia.

“Menyeragamkan semua ruang dengan pendekatan yang sama itu tidak tepat. Larangan total justru akan memindahkan pengunjung ke luar Jakarta, dan ekonomi kita ikut pindah ke sana,” ucap Agung.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved