Sosok Prof Didik J Rachbini yang Disuruh Belajar Lagi oleh Purbaya, Penantang Jokowi di Pilkada DKI
Nama Profesor Didik J Rachbini mencuat setelah mengkritik kebijakan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Ia pernah jadi lawan Jokowi di Pilkada DKI.
Pada tahun 1985, ia pernah aktif sebagai peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Di LP3ES ini ia tidak hanya pernah menjadi Kepala Program Penelitian, tetapi juga diberi tugas menjadi Wakil Direktur di tahun 1992-1994.
Saat bekerja di LP3ES, ia juga menjalani profesi sebagai dosen di Universitas Nasional dan di tahun 1993 ia juga menjadi dosen Pasca Sarjana Program Magister Manajemen Universitas Indonesia.
Setelah itu, di tahun 1995, pemilik nama kecil Ahmad Junaidi ini mendirikan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang merupakan lembaga riset independen dan otonom. Di sana ia menjabat sebagai direktur hingga tahun 2000.
Tidak hanya di dunia akademis, Prof. Didik juga aktif di beberapa organisasi. Diantaranya ia pernah menjadi aktivis HMI 1982 hingga 1983.
Ia juga pernah menjadi Anggota Majelis Pendidikan Tinggi Nasional sejak 1998 hingga 2003.
Di tahun 1995, ia bergabung menjadi Anggota Majelis Pakar di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICIM). Sejak bergabung di sana, tahun 1998 ia dipercaya menjadi Anggota MPR Utusan Golongan.
Prof. Didik berperan sebagai pendiri dan juga dosen pengajar di Universitas Paramadina Mulya.
Prof. Didik dipercaya untuk mengemban amanah menjadi Rektor di Universitas Paramadina Mulya di tahun 2021 sebagai pengganiti Rektor sebelumnya almarhum Prof. Firmanzah.
Ia lalu kembali menjabar Rektor Universitas Paramadina periode 2025-2029.
Kritik Purbaya
Awalnya, Didik J Rachbini mengkritik kebijakan Menteri Keuangan Purbaya yang menempatkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke bank BUMN.
Ia menilai pengalihan uang pemerintah ke perbankan untuk menggerakkan sektor riil melali penyaluran kredit merupakan kebijakan yang melanggar prosedur.
Menurut Didik, prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 23, UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN, harus dijalankan sebab anggaran negara masuk ke ranah publik, bukan anggaran privat atau perusahaan.
"Pengalihan Rp 200 triliun ke perbankan melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-undang APBN yang didasarkan pada Undang-undang dasar," ujar Didik dalam keterangannya, Selasa (16/9/2025), dikutip dari Tribunnews.
Didik menyatakan, proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main. Sebab jika tidak di masa mendatang akan menjadi preseden anggaran publik dipakai seenaknya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.