Disertasi Perhitungan Kerugian Negara di Kasus Korupsi, Dosen UP: Ada Disparitas Penegakan Hukum 

Dosen Universitas Pancasila, Suryanto Siyo, nilai ada ketidaksetaraan dalam praktik penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi di Indonesia.

ISTIMEWA
DISERTASI - Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP), Suryanto Siyo, menjalani sidang disertasi program Doktor Ilmu Hukum di UP, Jagakarsa, Jakarta Selatan. 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAGAKARSA - Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP), Suryanto Siyo, menilai ada ketidaksetaraan dalam praktik penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi di Indonesia.

Hal itu dituangkap Suryanto dalam disertasinya yang berjudul "Kontruksi Perhitungan Kerugian Perekonomian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Sektor Sumber Daya Alam".

Suryanto telah dinyatakan lulus dalam sidang disertasi untuk program Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UP, Jakarta Selatan.

"Disparitas ini disebabkan karena ketiadaan norma hukum sekunder yaitu norma definisi perekonomian negara dan apa yang dimaksud merugikan perekonomian negara dalam tindak pidana korupsi," kata Suryanto, 

"Dalam penjelasan UU Tindak Pidana Korupsi ada diberikan definisi, namun penjelasan sebuah undang-undang tidak mengikat berbeda dengan penjelasan pasal-pasal batang tubuh sebuah undang-undang mengikat karena merupakan satu kesatuan dengan pasal," imbuh dia.

Ia menuturkan, pasca Putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 yang membatalkan frasa 'dapat' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, maka hanya kerugian aktual yang dapat diterapkan pada diri Terdakwa. 

"Putusan MK ini kemudian diakomodir dalam Pasal 603 dan 604 KUHP 2023 yang juga tidak memiliki norma definisi. Hal ini membuka peluang akan mengalami ketidakefektifan norma hukum dan potensi Cherry Picking Jurisprudence karena hakim bersandar pada Ahli Ekonomi. Sementara hukum dan ekonomi memiliki epistemologi yang berbeda serta keterangan ahli tidak mengikat," ujar dia.

Dalam disertasinya, Suryanto mengaku menawarkan keseimbangan antara hukum dan ekonomi dengan konsep 'Balance Legal Economic Rasionality: Adil untuk manusianya dan rasional dalam perhitungan kerugian perekonomian negara.

Ia menilai kerugian negara harus dilihat secara makro ekonomi dan holistik dengan pendekatan regresi, yakni menentukan kasusalitas perbuatan korupsi dengan merugikan perekonomian negara.

"Kerangka TORA tetap membutuhkan validasi ekonom dan ahli valuasi lingkungan untuk mencegah tidak terjadi double punishment pada diri terdakwa atau sebaliknya tidak menyebabkan terdakwa dibebaskan dari uang pengganti kerugian perekonomian negara," ucap Suryanto.

Selain itu, ia menganggap diperlukan peraturan teknis karena korupsi pada masing-masing sektor ekonomi memiliki hubungan transitif differensial. 

"Maka perundang-undangan harus peka terhadap perbedaan tersebut. Misalkan dalam korupsi importase besi dan tekstil model ekonomimakro dengan input-output, neraca ekspor impor," pungkas Suryanto.

Berita Terkait

Baca berita TribunJakarta.com lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved