Menimbang Kepemimpinan Generasi Muda NU

PBNU pernah dipimipin oleh Ulama karismatik berusia muda. Di antara mereka adalah KH. Mahfudz Shiddiq, yang terpilih pada usia 30 tahun.

Dokumentasi KH. Dr. Aguk Irawan, MA
4 TOKIH MUDA NU - Empat tokoh muda Nahdlatul Ulama berpotensi memimpin PBNU pada muktamar 2026 dari kiri, KH. Imam Jazuli (Gus Imam, Cirebon), KH. Abdussalam Sohib (Gus Salam), KH. Muhammad Faiz Syukron (Gus Faiz) dan KH. Abdul Ghoffar Rozin (Gus Rozin). 

Penulis: KH. Dr. Aguk Irawan, MA (Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta)

TRIBUNJAKARTA.COM - Geliat menuju Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2026 mulai terlihat. Figur-figur penting yang digadang-gadang layak memimpin jam'iyah orang-orang pesantren ini mulai disisir. Beberapa perbincangan mulai mengarah pada tokoh-tokoh muda, dengan harapan saatnya yang muda-muda memimpin. 

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pernah dipimipin oleh Ulama karismatik berusia muda. Di antara mereka adalah KH. Mahfudz Shiddiq, yang terpilih pada usia 30 tahun melalui Muktamar NU di Malang pada tahun 1937.

Berikutnya adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, yang terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah pada 1946 di usia 32 tahun. Terakhir, pendamping setia Kiai Wahab Chasbullah yang bernama KH. Idham Chalid yang berusia 34 tahun terpilih sebagai Ketua Umum PBNU melalui Muktamar NU ke-21 di Medan. Cukup lama, Idham Chalid memimpin PBNU selama 28 tahun hingga 1984.

Sejarah panjang kepemimpinan kaum muda di PBNU kembali diperbincangkan belakangan ini. Muncul nama-nama kader NU yang masih muda dan layak dicalonkan pada Muktamar mendatang. Di antara mereka adalah KH. Abdussalam Shohib alias Gus Salam. Ia adalah  cucu pendiri NU, KH. Bisri Sansuri, sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. 

Gus Salam kerap mengkampanyekan ide perdamaian, melalui panggung-panggung dakwah. Ia juga tidak segan menyuarakan aspirasi warga NU akar rumput ketika tergoncang oleh manuver-manuver politik elite PBNU, yang dinilai menggerus moral NU. Di bawah kepemimpinan Gus Salam, NU berpeluang kembali kepada Khittah 1926, dimana NU fokus pada kebangsaan dari pada politik praktis. 

Ada juga KH. Abdul Ghoffar Rozin yang akrab disapa Gus Rozin. Ia adalah putra KH. MA. Sahal Mahfudz, ulama besar NU, sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah. Kiai Sahal Mahfudz terkenal dengan ketegasannya menyuarakan NU sebagai jam'iyyah bukan organisasi politik. 

Melanjutkan spirit orangtuanya, Gus Rozin aktif menyuarakan kemandirian pesantren. Ia mendorong para santri menjadi pelopor pertanian dan kemandirian pesantren. Berbeda dari Gus Salam, Gus Rozin mendorong umat untuk menghadapi kritis dengan optimistis dan inovasi. Ia pun menjalin kerjasama antara santri dan Dandim 0718/Pati agar santri ikut serta dalam menjaga kedaulatan negara. 

Dari Jawa Barat, ada KH. Imam Jazuli, pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia (BIMA). Kiai mengasuh pesantren dengan jumlah terbesar di Jawa Barat ini produktif menulis topik politik santri ini menawarkan corak pendidikan Islam yang unik, dan memperkaya khazanah keilmuan pesantren  NU. 

Berbeda dari Gus Salam dan Gus Rozin, Gus Imam Jazuli mengubah dunia pendidikan tidak sekedar mencetak intelektual, tetapi untuk tujuan yang lebih realistis, yaitu calon-calon pemimpin masa depan. Beliau gemar berbicara masa depan Indonesia dengan bertumpu ada  program lanjutan pendidikan santri yang saintis dan mendorong perbaikan lembaga pendidikan yang sudah ada. Ini jalan yang lebih realistis untuk mencetak generasi pemimpin. 

Gagasan unik lain dari Gus Imam Cirebon ini adalah upaya integrasi politik antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan NU. PKB sebagai saluran politik NU, dan NU sebagai basis massa PKB. Gagasan berani ini membuat nama Gus Imam Jazuli dari Cirebon dikenal sebagai Ideolog PKB oleh publik. 

Terakhir, ada KH. Muhammad Faiz Syukron Makmun, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman, Cipedak, Jakarta Selatan. Ia pakar di bidang tafsir, hadis, fikih dan sirah. Ia berdakwah ke pelosok-pelosok desa menyebarkan semangat persatuan bangsa, mengajak umat memahami makna zaman, dan menjaga keseimbangan hidup. 

Berbeda dari gus-gus yang lain, Gus Faiz ini memiliki gagasa tentang tata kelola kota yang senafas dengan nilai-nilai fikih keislaman dan semangat globalisasi. Kota Global dalam pandangan Gus Faiz adalah menyeimbangkan antara nilai-nilai moral dan pembangunan peradaban,kemajuan teknologi, serta arus globalisasi. 

Tentu saja masih banyak tokoh-tokoh muda NU di luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan. Mereka yang tidak bisa disebut satu persatu memiliki potensi yang sama untuk memimpin PBNU dengan semangat kaum muda. 

Kiai-kiai muda atau gus-gus pesantren tersebut berpeluang untuk mengubah arah kepemimpinan PBNU, menyesuaikan dengan spirit zaman, dan yang terpenting memiliki rekam jejak positif di mata publik. Idealisme mereka belum ternodai oleh kepentingan pragmatisme.  

Tampaknya, kepemimpinan kaum muda bagi PBNU di masa mendatang bukan semata romantisme sejarah atau bangga pada masa lalu. Tetapi, kepemimpinan kaum muda adalah angin segar yang membawa harapan baru agar PBNU sebagai Jam'iyah kembali pada "era keemasannya ". Wallahu a'lam.

Baca berita TribunJakarta.com lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks Berita

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved