Tarif MRT Jakarta Dinilai Mahal, Anies Baswedan Tantang Bandingkan dengan Harga Ojek Online
"Jadi kalau ada yang bilang (harga) tinggi dan rendah saya tanya balik nih, tinggi-rendah harus ada perbandingannya," kata Anies
Penulis: Pebby Ade Liana | Editor: Erik Sinaga
Laporan wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana
TRIBUNJAKARTA.COM, GAMBIR - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkomentar mengenai penolakan sejumlah pihak soal harga tarif MRT Jakarta yang dipatok maksimal Rp 14 ribu dari Stasiun Lebak Bulus sampai Bundaran HI.
Sejumlah pihak, menilai bahwa harga tersebut masih terlalu mahal jika diperuntukan bagi masyarakat DKI.
"10 centimeter itu tinggi apa rendah? 10 meter itu tinggi atau rendah? tergantung. Jadi opsinya apa? naik ojek? naik motor sendiri? Jadi kalau ada yang bilang (harga) tinggi dan rendah saya tanya balik nih, tinggi-rendah harus ada perbandingannya. Itu baru kita katakan ya tinggi atau ya rendah," kata Anies Baswedan di kawasan Jakarta Pusat tadi malam, Kamis (29/3/2019).
Menurut Anies Baswedan, harga yang sudah ditentukan tersebut telah melewati kajian yang matang.
Ia pun menantang agar sejumlah pihak yang menilai tarif tersebut terlalu tinggi, untuk membandingkan harga MRT dengan biaya jika menggunakan jasa ojek online.
MRT Jakarta fase I yang sudah dibangun, menempuh jarak sekitar 16 Kilometer dari Stasiun Lebak Bulus hingga ke Bundaran HI. Menurut Anies, dengan tarif ojek online yang dipatok sebesar Rp 2 ribu per kilometer masih lebih mahal dibandingkan dengan biaya naik MRT 16 kilometer yang hanya Rp 14 ribu.
"Naik ojek ada biayanya, dihitung berapa tuh. Kemarin keputusan berapa ojek? Rp 2 ribu per kilo. Jaraknya berapa? 16 kilometer, kali Rp 2 ribu, sama dengan Rp 32 ribu, murah mana? MRT," tegas Anies.
"Ojek saja harganya Rp 32 ribu (dari Bundaran HI ke Lebak Bulus). Jamnya terprediksi nggak? Tidak. Kalau ini kenyamanan tinggi, jamnya pasti, harganya lebih murah dibanding ojek. Itu maksud saya. Jadi bagi masyarakat kalau melihat harga itu jangan harga lawan 0, tapi harga dibandingkan moda transportasi lain termasuk kalau pribadi.
Pribadi yang harus dihitung apa aja? Bensin, parkir, kalau MRT pakai parkir nggak? Park and ride. Jadi ongkos itu sudah diperhitungkan," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, sejumlah anggota dewan mengaku tak setuju dengan hasil keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama dengan Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi mengenai tarif tersebut.
Beberapa diantaranya menilai bahwa DKI Jakarta mampu menanggung biaya subsidi yang lebih besar lagi karena memikili APBD yang besar. Harga tersebut dinilai masih mahal.
"Kalau saya malah mau gratis, ayo kita hitung (APBD). Gak ada urusannya tarif murah sama pemilihan umum. Habis pemilihan umum pun, kalau perlu tarifnya murah. Sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat. Percuma juga kalau tarifnya mahal, misalnya Rp 30 ribu, ini kan tarifnya Rp 14 ribu pulang-pergi Rp 28 ribu maksimal. Menurut saya masih mahal, tanya aja sama masyarakat," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M.Taufik Rabu (27/3/2019).
Keputusan tarif tersebut, juga mendapat penolakan dari Ketua Fraksi NasDem DKI Jakarta Bestari Barus.
Pasalnya, menurut Bestari Barus dalam rapimgab beberapa waktu lalu, MRT Jakarta dikhawatirkan hanya akan menjadi kendaraan umum bagi kalangan atas saja yang sudah memiliki kendaraan roda empat jika harganya dibandrol Rp 14 ribu maksimal.
• Digoda Bertemu Ariel Noah di Ultah BCL, Luna Maya Semprot Raffi Ahmad dengan Mata Melotot
• Setelah di Bundaran HI, Transjakarta Siapkan 3 Halte Terintegrasi Lain dengan MRT Jakarta
• Nang Ajak Hendri Adang Calon Pendeta Melinda di Kebun: Tujuan Awalnya Memang Sudah Memerkosa
Sedangkan untuk pemilik kendaraan roda dua, dinilai terlalu berat jika harus membayar Rp 28 ribu untuk bolak balik pakai MRT. Bestari menilai, bahwa pengguna roda dua tentu lebih hemat jika mengeluarkan biaya satu liter bensin untuk pergi dan pulang ke kantor dibanding besaran tarif tersebut.
"Kami dari Fraksi NasDem tidak pernah memberikan persetujuan atau kewenangan kepada ketua DPRD untuk bersepakat seorang diri dengan gubernur. Artinya kalau bisa saya katakan perubahan dari Rp 8.500 menjadi lebih dari Rp 8.500, tidak sah. Keputusannya bukan di tangan ketua DPRD dan Gubernur. Harus melalui rapat resmi. Iya kalau nggak ngapain rapat resmi kemarin," kata Bestari.