Gugatan ARRUKI ke Kejari Jaksel Soal Silfester Ditolak, Peradi Bersatu: Bukti Tak Ada Intervensi

Sekjen Peradi Bersatu Ade Darmawan menanggapi gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI) terhadap Kejari Jaksel.

Tribunjakarta/Annas Furqon
KASUS DUGAAN IJAZAH PALSU - Ketua Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina diperiksa sebagai saksi terkait kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Polres Metro Jakarta Selatan, Rabu (28/5/2025). TribunJakarta.com/Annas Furqon Hakim 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Annas Furqon Hakim

TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU - Sekjen Peradi Bersatu Ade Darmawan menanggapi gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI) terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.

Gugatan itu terkait eksekusi Silfester Matutina yang tak kunjung dilakukan Kejari Jakarta sejak 2019.

Berdasarkan laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, gugatan praperadilan tersebut telah ditolak.

"Mengadili, menolak permohonan pemohon praperadilan tersebut untuk seluruhnya," demikian putusan yang tertulis dalam SIPP PN Jakarta Selatan.

Menurut Ade, putusan itu menunjukkan bahwa tidak ada intervensi pada sistem peradilan.

"Berdasarkan hal tersebutlah kami meyakini bahwa peradilan di negeri kita tidak dapat di intervensi oleh pihak manapun juga. Dikarenakan dasar hukum KUHP Pasal 84 ayat (3) dan Pasal 85 KUHP jelas telah mengatur kedaluwarsanya satu putusan, sehingga kewenangan untuk melaksanakan eksekusi tidak fair untuk dilakukan," ujar Ade, Kamis (25/9/2025).

Ade mengatakan, eksekusi yang dipaksakan akan menabrak aturan. Selain itu, ia menilai ahli yang dihadirkan dalam gugatan praperadilan tidak memahami masalah pidana.

"Fenomena kasus Silfester ini tidak terpenuhi mensrea dan actus reus dalam prinsip hukum pidana. Mengapa demikian? Karena faktanya narasi ungkapan Silfester Matutina itu adalah narasi respon terhadap ungkapan bapak JK yang mengatakan yang kaya non muslim dan hanya etnis tertentu," kata Ade.

"Sehingga sebagai pejuang merah putih dan aktivis pembela NKRI, saudara Silfester tidak ingin terjadi perpecahan antara anak bangsa, sehingga Silfester tergerak untuk merespon scara spontan dalam hal ini," imbuh dia.

Ia menyebut hingga saat ini Silfester masih melakukan upaya hukum berupa mengirim surat keberatan keberatan kepada pihak kejaksaan dan pengadilan.

"Bangsa ini haruslah menjadikan hukum sebagai panglima karena negara kita adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Jadi jangan di bolak-balik seolah-olah Silfester yang mencederai hukum," pungkas Ade.

Sebelumnya, Ketua Umum ARRUKI Marselinus Edwin Hardhian menyebut bahwa lambannya eksekusi tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.

"Putusan kasasi Mahkamah Agung sudah inkrah sejak 2019. Tapi hingga kini belum dieksekusi. Ini mencederai kepercayaan publik terhadap sistem hukum," ujar Edwin dalam podcast Saksi Kata di kanal YouTube Tribunnews, Jumat (15/8/2025).

Ia menekankan bahwa eksekusi merupakan tahap akhir dari proses hukum pidana. 

Tanpa pelaksanaan vonis, seluruh tahapan hukum yang telah dilalui menjadi sia-sia.

"Seluruh upaya dalam proses hukum, dari penyelidikan hingga putusan, harus berujung pada eksekusi. Kalau tidak, untuk apa sistem ini dibangun?" tegasnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved