Jalani Sidang BLBI, Petambak Udang Pamer Pajero Sport di Pengadilan Tipikor
Ia juga mengatakan mereka telah berada di Jakarta sejak Rabu (25/7) dan menginap di rumah salah satu dari mereka di Jakarta.
TRIBUNJAKARTA.COM,JAKARTA - Jaksa menghadirkan empat orang petambak udang dari Bumi Dipasena Utama, Tulang Bawang, Lampung saat sidang di pengadilan tindak pidana korupsi, Jakarta.
Salah satu petambak udang bernama Tugiyo bercerita bahwa ia datang untuk menjadi saksi kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Tugiyo mengaku bersama tiga orang lainnya datang ke Pengadilan Jakarta Pusat dengan biaya sendiri.
Ia juga mengatakan mereka telah berada di Jakarta sejak Rabu (25/7) dan menginap di rumah salah satu dari mereka di Jakarta.
Menurutnya, setelah hubungan kerjasama mereka terputus dengan PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) pada tahun 1999 kehidupannya dan 7.000 petambak lain di sana menjadi lebih baik dengan menjadi petambak mandiri.
• Siang ini, Sandiaga Uno dan Wali Kota Jakarta Pusat Salat Jumat Bersama Warga di Senen
Ia pun sempat mengatakan jika mobil SUV hitam merek Pajero Sport yang mereka tumpangi untuk pergi dari dan menuju Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta merupakan hasil dari tambak salah seorang dari mereka.
"Enggak (dibiayain KPK), kita biaya sendiri. Ini (mobil SUV) juga hasil dari tambak," kata Tugiyo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Tugiyo tidak sendiri, ia bersama Lasim, Towilun, dan Yusuf akan bersaksi di meja hijau untuk terdakwa Syafruddin Tumenggung.
Dalam persidangan, Towilun yang telah menjadi petambak udang dalam naungan PT DCD sejak tahun 1995 tidak terima jika para petambak udang disebut masih punya utang kepada BDNI sebesar Rp 135 juta per petambak.
BDNI yang merupakan perusahaan induk PT DCD kemudian tutup pada tahun 1999 karena krisis moneter meski sempat menjadi salah satu penerima dana BLBI pada tahun 1998.
• Deretan Fakta Penggerebekan Kosmetik Ilegal di Penjaringan: 100 Ribu Barang Bernilai Rp 7,6 Miliar
Sejak tahun 1999 itu hak tagih utang BDNI kemudian diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Indonesia (BPPN).
Dengan suara bergetar Towilun meminta kepada seluruh pengunjung ruang sidang untuk tidak menilai para petambak masih memiliki utang kepada pemerintah dalam hal ini BPPN.
Menurut Towilun, nilai hasil jual udang para petambak sejak tahun 1995 sampai 1999 telah menutupi nilai utang mereka kepada BDNI yang saat itu berjumlah Rp 135 juta per petambak.
Towilun mengaku jika dirinya dan seluruh petambak Dipasena menandatangani akad kredit sebesar Rp 135 juta.
Namun dari faktur yang ia terima dari PT DCD setidaknya ia mengaku telah melunasi utang itu dengan memberikan Rp 181 juta ke PT DCD.
Ia bahkan mengatakan jika nilai hasil jual udang ke PT DCD saksi lainnya lebih dari itu.
Ia menjelaskan jika udang yang diserahkan ke PT DCD oleh saksi Yusuf bernilai Rp 373 juta dan saksi Lasim bernilai Rp 285 juta.
"Mohon sekali. Tolonglah kami petambak ini jangan dibully terus. Kami sudah korban. Kami tetap dibilang punya hutang, punya hutang, hutang dari mana?" kata Towilun dengan suara bergetar sambil mengusap air mata di persidangan.
Dalam persidangan terungkap jika selama ini para petambak tidak pernah diberi tahu perjanjian kerjasama dengan PT DCD dan isi akad kredit mereka dengan BDNI.
Towilun mengatakan saat penandatanganan akad kredit tersebut hadir pula orang berpakaian bank BDNI namun penjelasan pokok terkait utang itu dilakukan oleh karyawan PT DCD.
Menurut Towilun, ia dan para petambak lain saat itu hanya dijelaskan jika ia berutang pada BDNI sebesar Rp 135 juta.
Ia mengaku menandatanginya pada bulan November 1995 di Desa Utama office, atau kantor perusahaan DCD yang ada di infra blok 23 kampung Bumi Dipasena Utama.
Pihak perusahaan pun menjelaskan rinciannya pada saat itu yaitu Rp 90 juta untuk membayar tambak, rumah, kincir, dan perlengkapan budidaya udang. Sedangkan Rp 45 juta untuk modal budi daya berupa pakan, benur (bibit udang), dan obat obatan.
Ia menambahkan jika rumah yang diterimanya pada saat itu berukuran 5 x 7 meter yang berdinding asbes dan kamar mandinya berukuran 1,5 x 2 meter dengan dinding asbes.
Sementara satu lot tambak yang diterimanya berupa dua petak tambak berukuran 40 x 50 meter.
Dalam persidangan, Towilun mengaku ia dan teman temannya tidak pernah ditagih dan diberi kejelasan mengenai posisi utang mereka kepada BDNI dari PT DCD.
Ia dan teman temannya justru mendapat intimidasi verbal dari pihak perusahaan jika ada menanyakannya.
Jika ada petambak yang menjual hasilnya kepada perusahaan selain PT DCD maka petambak itu akan dipenjara.
"Tahun 1996 atau 1997, kami bertanya posisi utang kami seperti apa? Sudah lunas kah atau sudah lunas atau masih ada utang? Dijawab oleh orang perusahaan, masih betah nggak kerja di sini? Kalau nggak betah silahkan keluar. Ini kan intimidasi. Pengancaman. Nakut nakutin," kata Towilun usai sidang.
Kasus BLBI Dipolitisasi
Kuasa hukum Sjamsul Nursalim Maqdir Ismail mengatakan, dirinya merasa curiga lantaran kasus ini kembali digoreng ketika event event tertentu.
Dia melanjutkan, hal itu terasa setiap kali menjelang pergantian pemerintahan atau baru ganti pemerintahan.
"Kita sebagai orang yang cukup rasional. Ada beberapa event tertentu yang orang justru mencoba mendekati orang orang supaya bisa terhubung seperti itu boleh enggak kita curiga. apakah ini ada urusan pemerintah cari modal enggak tahu ini yang saya rasakan," katanya.
Dia menjelaskan, kalau pun ada yang meminta uang untuk modal, tidak akan di hadapannya.
Namun dia mengetahui ada orang orang tertentu sibuk mencoba mendekati kliennya.
"Hal itu Agar supaya bisa terhubung. Nah kalau seperti ini boleh ga kita curiga? Boleh kan manusiawi, itulah di antaranya yang paling terasa dan kemudian satu hal lagi," tambahnya.
Di sisi lain, menurut Otto Hasibuan kuasa Hukum Sjamsul Nursalim lainnya mengatakan, fakta yang mengatakan bahwa setiap pemilu kasus ini muncul.
"Dari zaman pemerintahan pak Harto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sampai pak Jokowi sekarang," ujarnya.
Namun, menurutnya, hal ini selalu menjadi pertanyaan mengapa kasus yang terjadi 20 tahun yang lalu tidak pernah selesai.
Menurutnya, dalam prinsip hukum kasus tersebut harus ada akhirnya.
"Melihat kasus ini sebenarnya pemerintah dan masyarakat harus melihat seandainya ini diberlakukan kepada kita bagaimana," ucapnya.
Asal tahu saja, kasus BLBI ini telah memasuki tahap persidangan.
Syafruddin, yang merupakan eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, didakwa melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 4,58 triliun.
Jaksa KPK juga menyebut Sjamsul Nursalim turut diperkaya dari perbuatan Syafruddin Arsyad Temenggung. Perbuatan itu disebut memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun. (Tribun Network/gta/wly)