Bukan Prabowo, Inilah Sosok Prajurit Kopassus Pertama di Puncak Everest
Prabowo Subianto menaklukkan puncak Everest yang disampaikan Mardani Ali Sera mendapat sorotan, karena keliru membaca data.
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Prabowo Subianto menaklukkan puncak Everest yang disampaikan Mardani Ali Sera mendapat sorotan, karena keliru membaca data.
Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu menyinggung soal keterlibatan Prabowo dan Kopassus menaklukkan Everest saat debat antartim pemenangan calon presiden di Mata Najwa, Rabu (10/10/2018).
"Prabowo sudah membuktikan kualitasnya. 26 April 1997 ketika tidak ada seorang pun dari Asia Tenggara yang mampu menaklukkan Everest, Prabowo dan tim Kopassus-nya mampu menaklukkan gunung tertinggi di dunia. Itu ciri khas kepemimpinan utama," demikian tutur Mardani.
Tak sedikit orang meluruskan keterangan yang disampaikan politikus PKS itu.
Pada Eksepedisi Indonesia Everest '97, prajurit Kopassus Asmujiono-lah yang berhasil menginjakkan kaki di puncak tertinggi di dunia tersebut, bukan Prabowo.
Prabowo memang berperan dalam ekspedisi tersebut. Saat itu ia menjabat Danjen Kopassus yang menggagas ide mengirimkan rombongan untuk menjadi orang Asia Tenggara pertama yang menaklukkan Everest.
Kisah Tim Ekspedisi Everest Indonesia 97 (kadang juga disebut Ekspedisi Indonesia Everest 97 atau Ekspedisi Everest 97) tertuang dalam artikel berjudul "Sang Saka Akhirnya Berkibar di Puncak Dunia" yang ditulis oleh A. Asianto dan Kurniasih T.J. di tabloid Nova edisi 483/X 25 Mei 1997.
Dalam artikel sebelumnya dikisahkan bagaimana tim Ekspedisi dibagi dua (tim utara dan tim selatan), namun hanya menyisakan tiga orang dari tim selatan menjelang puncak.
Mereka adalah Lettu Iwan Setiawan (29), Sertu Misirin (31), dan Pratu Asmujiono (26).
Lalu mengapa pada akhirnya Asmujiono menjadi anggota tim pertama yang berhasil menggapai puncak Everest? Begini ceritanya
Menginjak Mayat
Adalah Pratu Asmujiono anggota tim yang pertama berhasil mengibarkan Sang Merah Putih di puncak Everest.
Dituturkan Muji (panggilan akrabnya), beberapa meter menjelang puncak ia sudah disarankan pelatih dari Moskow untuk mundur karena kondisinya amat payah. \
Sebelum Muji, Iwan dan Misirin sudah lebih dulu berhenti.
Bukannya menuruti saran, Muji malah nekat maju.
Apalagi, ia tahu lokasi untuk menancapkan bendera sudah tak jauh.

"Saya bukan pengecut, mati pun saya rela!" teriak Muji saat itu sambil berlari ke atas.
Bayangan kematian sempat melintas di hadapan Muji ketika tak sengaja menginjak beberapa mayat pendaki yang mencoba naik ke puncak.
"Saya menangis. Tapi begitu teringat tugas negara, saya maju lagi sambil tetap berdoa," kisahnya.
Sedikit demi sedikit, Muji mulai mendekati titik tripod tempat bendera ditancapkan.
"Mendadak pinggang saya nyeri karena kurang minum. Tapi syukurlah, saya masih punya kekuatan menancapkan bendera," cerita Muji yang langsung menangis terharu.
Posisinya saat itu hanya satu meter sebelum tripod.
Kenekatan Muji berikutnya, membuka masker oksigen, kacamata, dan sarung tangan serta mengenakan baret merah.
Tindakan itu sebetulnya amat berbahaya karena oksigen amat tipis dan suhu yang jauh di bawah titik beku.
"Saya ingin punya bukti dokumentasi gambar jelas. Jangan sampai sudah mempertaruhkan nyawa, nanti buktinya disangsikan. Pokoknya, saya ingin tampang saya jelas saat difoto atau direkam video," ucap dia.
Menurut Muji, ia terpilih sebagai anggota tim karena kondisi fisiknya prima.
Bujangan asal Malang ini juga kerap menjuarai lomba lari maraton, nasional maupun internasional.
"Sebagai anak petani di desa, naik turun gunung sudah biasa saya lakukan waktu kecil. Bahkan saya berangkat ke sekolah dengan berlari," kenang Muji yang bercita-cita mengulang pendakian dari jalur Utara.
Makan Leci Hangat
Sedianya, Sertu Misirin-lah yang direncanakan mengibarkan bendera.
Namun, pada ketinggian 8.823 meter, Misirin sudah setengah sadar.
"Pandangan saya gelap, enggak melihat apa-apa. Samar-samar cuma saya dengar suara Muji yang mendahului saya," kisah pria asal Ponorogo ini.
Pelatih meminta Misirin turun.
"Tapi saya teringat kata-kata Lettu Iwan, 'Mati pun, kita siap. Ingat kejayaan bangsamu saat naik, dan ingat keluargamu saat turun'," lanjutnya.
Semangat Misirin kembali terpacu. Setelah istirahat sejenak dan makan permen untuk memasok energi.
"Saya pelan-pelan maju lagi sambil terus berdoa. Malu rasanya kalau saya pulang gagal," cerita dia.
Setelah Muji, Misirin pun tiba di puncak dan Iwan menyusul.
"Kami semua tak henti menyebut asma Allah. Sayang, kami tak sempat menyanyikan Padamu Negeri karena kabut dan angin kencang mulai datang. Kami harus segera turun," ungkap dia.
Berada di puncak tertinggi dunia tak pernah terbayangkan oleh Misirin sebelumnya.
"Cita-cita saya dulu cuma masuk ABRI. Makanya, begitu diterima jadi Tamtama tahun 87, saya sudah senang," ucap dia.
"Apalagi setelah masuk Kopassus. Di sinilah saya terpilih sebagai tim pendaki gunung karena dinilai mampu. Sebelum ini, saya pernah mencapai puncak Mandala di Irian Jaya," Misrin menambahkan.
Sekali pun berpengalaman mendaki, banyak kendala baru dialami Misirin dalam ekspedisi Everest ini.
Di ketinggian 6.000 meter, saat oksigen menipis dan suhu anjlok drastis, ia mendadak kehilangan nafsu makan.
Apa saja yang ditelannya selalu dimuntahkan. Kelainan itu juga dialami Muji dan Iwan.
"Selain lemas, kepala rasanya kayak dibor," kata Misirin yang kemudian banyak-banyak minum teh manis hangat agar suplai tenaga tetap terjaga.
Saat mencapai ketinggian 7.000 meter ia merasa aneh pada berat badannya.
"Berat badan saya sudah turun dari 70 kilo jadi 63 kilo karena tiga hari enggak makan apa-apa. Akhimya, saya paksakan makan buah leci hangat sampai tiga malam berikutnya. Kami juga makan vitamin dalam dosis ringan," terang dia.
Perjalanan pulang pun tak kalah berbahayanya.
"Di ketinggian 8.500 meter, kami terpaksa bermalam karena terhadang badai salju. Sementara persediaan oksigen tinggal dua tabung. Terpaksalah kami sibuk membagi rata oksigen," cerita Misirin.
Di situlah, Misirin nyaris tewas kehabisan oksigen.
"Rasanya saya sudah di ambang hidup dan mati," ujarnya. Saat itulah, Misirin mengaku melihat wajah dan mendengar suara istri dan anaknya, Andayati (27) dan Jojo Irwantoro (4).
Semangat hidup Misirin mendadak bangkit. Saat itu, nun jauh di seberang samudera, Andayati tengah memanjatkan doa bagi keselamatan suaminya.
Selain doa, Andayati juga mengirim faks dan surat. Hanya saja, Misirin mengaku tak sempat-sempat membalas surat istrinya.
"Sudah saya jelaskan kepadanya, informasi dari teve dan koran, kan, jalan terus. Dan dia bisa ngerti," ujarnya.
Andayati mengaku bisa memahami alasan suaminya. Ia ikut bangga karena suaminya mencapai prestasi yang tak bisa diraih sembarang orang.
"Sebagai istri prajurit, saya siap jika suami saya ditugaskan kapan pun dan di mana pun. Sebelum menikah risiko ini sudah saya sadari, kok," ungkap Andayati sambil tersenyum bahagia.
Hindari Jatuh Korban
Keberhasilan Indonesia Everest 97 memang terasa lebih sempurna jika tim Utara dan Selatan dapat bertemu di puncak.
Namun, menurut Komandan Tim Utara, Letda Sudarto, prestasi yang dicapai tim Selatan pun sudah' amat luar biasa.
"Pers asing yang meliput pendakian ini sampai terkagum-kagum mengetahui latihan kita cuma enam bulan, sementara kita dari negara tropis. Biasanya, sih, para pendaki perlu minimal setahun untuk berlatih," jelas Sudarto.
Menurut Sudarto, tim dari Utara "hanya" mencapai ketinggian 8.600 meter. Karena cuaca terlalu buruk, serta pertimbangan pelatih dan dokter, Mayjen Prabowo selaku penanggung jawab ekspedisi akhimya memerintahkan mundur karena tak mau sampai jatuh korban.
"Saya yakin, kalau kami ngotot, pasti bisa sampai puncak. Tapi saya enggak yakin, apakah setelah itu masih ada yang bisa bertahan hidup karena selain datangnya badai, suhu sudah mencapai minus 40 derajat celsius."
Dan bila sampai ada anggota tim yang tewas atau hilang, "Itu berarti, kan, ekspedisi kita gagal. Sekalipun tim Selatan ada yang sampai ke puncak," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul: Ekspedisi Everest '97 yang Digagas Prabowo: Kisah Prajurit Asmujiono Gapai Puncak Everest Setelah Injak Mayat