Mengenang 31 Tahun Tragedi Berdarah Kereta Api Bintaro: Kronologi, Cerita Masinis Hingga Dibuat Film
31 tahun berlalu, masih hangat di ingatan masyarakat tragedi berdarah Kereta Api Bintaro yang menewaskan 156 orang dan lebih dari 200 orang luka-luka.
Penulis: Erlina Fury Santika | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Namun Slamet tidak patah dan tidak menyerah. Setelah merasa Ibu Kota terlalu kejam untuknya, ia memutuskan kembali ke kampung halamannya, Purworejo.
Di tempat ini ia memulai hidup yang baru dan berhasil menikah kembali setelah istri pertamanya direbut rekan masinis.
• Tarif Promo Tiket Kereta Api untuk Keberangkatan Selasa dan Rabu, Berikut Rinciannya
• Arus Lalu Lintas Padat di Palang Perlintasan Kereta Api Pasar Minggu
• Polisi Sarankan Coretan Vandalisme di Gerbong Kereta MRT Tidak Dihapus Sebelum Pelaku Ditangkap
Dari pernikahan yang kedua ini ia dikaruniai tiga anak.
Untuk menyambung hidup, ia berjualan rokok eceran keliling di depan suatu toko di kawasan perempatan Kalianyar, Kutoarjo.
Tempat berjualannya ini berjarak sekitar 17 km dari rumahnya yang sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo.
"Peristiwa 26 tahun yang lalu itu tidak akan pernah bisa saya lupakan. Selain itu sekarang saya hanya berdoa, agar saya pada akhirnya mendapatkan keadilan. Uang pensiun yang menjadi hak saya, semoga saya dapatkan," katanya.
Slamet menegaskan, meski diperlakukan tidak adil, namun ia tidak merasa dendam pada dunia perkeretaapian.
Bahkan, ia memiliki keinginan agar ada anaknya yang masuk menjadi karyawan perusahaan kereta api.
"Saya tidak dendam. Saya sampai mati tetap cinta kereta api. kalaupun saya sudah tidak bisa memberikan apa yang saya miliki untuk kereta api, biarlah anak saya yang meneruskan cita-cita saya.
Kalau ada kesempatan saya ingin ada anak saya yang masuk ke kereta api, entah jadi masinis atau apa, yang penting meneruskan cita-cita saya membangun perkeretaapian Indonesia," ungkapnya sambil tersenyum.
4. Dibuat film dan lagu
Musikus legendaris, Iwan Fals turut berempati dan menciptakan sebuah lagu untuk mengenang tragedi berdarah tersebut.
Dilanisr dari Kompas.com, tujuannja memberikan teguran keras mengenang peristiwa dan memberi teguran kepada pemerintah.
Iwan Fals mengenang tragedi itu dalam lagu "1910", yang juga masuk dalam album 1910 (1988).
Salah satu liriknya terbilang mengenaskan:
"19 Oktober, tanah Jakarta berwarna merah..."
Benar adanya, tanah Jakarta berwarna merah, merah yang berarti banyak korban karena peristiwa memilukan itu.
Ebiet G Ade juga terinspirasi menuliskan lagu untuk tragedi ini.
Lagu "Masih Ada Waktu" memberikan sebuah introspeksi diri kepada seseorang yang masih diberikan keselamatan.
Selain diekspresikan melalui lagu, tragedi ini juga dijadikan sebuah film.

Harian Kompas edisi 22 Oktober 1989 menulis, untuk mengenang peristiwa itu, Sutradara Buce Melawau membuat karya film dengan judul Tragedi Bintaro (1989).
Film ini tidak mengisahkan kelalaian yang menyebabkan terjadinya tragedi tersebut.
Namun, film menceritakan kesedihan anak kecil bernama Juned karena orangtuanya di ambang perceraian.
Nenek Juned tergerak untuk membawanya ke desa agar tak merasa sedih.
Juned kemudian kehilangan keluarganya akibat peristiwa itu. (Kompas.com/TribunJogja.com/TribunJakarta.com)