Lika-liku Kehidupan PSK Waria di Bali: Panggilan Jiwa, Penghasilan Rp 15 Juta dan Pelanggan Bule

Lambaian tangan sejumlah wanita pria (waria) menyeruak di tengah keheningan Jalan Bung Tomo, Ubung, Denpasar sekitar pukul 04.20 WITA.

Penulis: Ferdinand Waskita | Editor: Erik Sinaga
Tribunnews.com
Ilustrasi Waria 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Sapaan menggoda dan lambaian tangan sejumlah wanita pria (waria) menyeruak di tengah keheningan Jalan Bung Tomo, Ubung, Denpasar sekitar pukul 04.20 WITA.

Mereka terlihat mengenakan pakaian seksi berbalut make up tebal dengan rambut panjang.

Mereka duduk di atas motor di pinggir jalan yang lampu penerangannya tak menyala.

“Hai, mau ke mana, sini..,” sapanya dengan nada menggoda sembari melambaikan tangan.

TribunJakarta.com mengutip TribunBali mengenai lika liku kehidupan waria di Bali.

Pengakuan Melani

Melani (bukan nama sebenarnya) sudah 15 tahun mangkal di kawasan Bung Tomo.

Sejak kecil, Melani sudah berjiwa wanita dan sena bermain boneka.

Keturunan orang kaya di Surabaya, Melani kerap berfoya-foya.

Ia pun akrab dengan dunia malam.

Ia sempat menjadi penyanyi karaoke di sebuah kafe.

Ilustrasi
Ilustrasi (Getty Images)

Lulus SMA, ia sempat kuliah di Jurusan Bahasa Inggris dan Teknik Ilmu Komputer, namun keduanya gagal.

"Keduanya gagal. Kuliah berantakan," tutur Melani.

Melani pun memutuskan minggat dari rumahnya dan merantau ke Bali hingga akhirnya ia menjadi PSK Waria.

Ia menyadari profesi ini sangat tidak mengenakkan, namun inilah yang menjadi pilihan hidup baginya.

"Saya rela dihina orang, dianggap sampah masyarakat, karena apa? Karena ini panggilan jiwa," kata Melani mantap.

Awal menjadi PSK, Melani menjaga bentuk tubuhnya agar memikat mata pria
Bahkan, ia rela berpuasa untuk bisa menjaga bodi agar tetap langsing.

"Kalau lapar, saya makan buah, makan sayur. Jarang makan nasi. Itu saja. Saya jarang olahraga, cuma menjaga pola makan aja," tuturnya.

Melani kini sudah berumur 51 tahun.

Namun demikian ia tetap setia dengan profesinya meski usianya suduh setengah abad.

Dulu, ia mengklaim sebagai waria paling seksi di kawasan Bung Tomo.

Ia pun sempat memiliki suami bule tiga kali ketika bodinya masih lengkung bak gitar Spanyol.

Sejumlah lelaki lokal juga pernah jadi pacarnya.

"Dulu bodiku paling oke di sini. Aku dulu itu terkenal perusak rumah tangga orang. Dulu kalau ada laki-laki lihat, pasti langsung kecantol," tutur Melani sembari tersenyum genit.

Meski sudah uzur, Melani tetap jadi primadona.

Ia mengaku sering mendapatkan pelanggan anak muda alias ABG.

Ini tentunya sebagai ironi karena ternyata banyak anak-anak usia muda yang menjadi pelanggan waria.

Selain ABG, pelanggan para waria juga orang-orang dewasa, baik orang asing maupun lokal.

Banyak juga pria beristri.

Melani sering bertanya-tanya kepada para pelanggannya mengapa mereka menyukai waria.

"Mereka bilang sudah bosan dengan wanita. Mereka ingin mencari sensasi baru," ungkapnya.

Melani mengungkap bahwa dulu sebelum dua klub malam terkenal di Bali ditutup, jumlah lelaki hidung belang yang mencari waria di Bung Tomo sangat banyak.

"Dulu banyak tamu ke sini yang habis mabuk dan nyabu. Saya sering diajak nyabu dulu," kata Melani.

Ketika masa itu, Melani mengaku bisa mendapatkan duit rata-rata Rp 10 sampai Rp 15 juta per bulan.

Namun sekarang pemasukannya turun drastis.

"Sekarang sepi," ujarnya.

Lokasi Mangkal

Selain di kawasan Bung Tomo dan Kusuma Bangsa, para waria juga sering mangkal di Lapangan Lumintang dan Lapangan Puputan Renon, tepatnya di sepanjang Jalan Tantular Barat.

Bahkan, jumlah waria yang setiap hari mangkal di kawasan Renon ini lebih banyak dari tempat-tempat lainnya di Denpasar.

Saat Tribun Bali mendatangi di Jalan Tantular Barat Denpasar pukul 00.00 WITA, Kamis (18/10/2018), terlihat sejumlah berpakaian seksi seraya menenteng tas.

Jumlahnya sekitar tiga orang.

Mereka berdiri di pinggir-pinggir Jalan Tantular Barat.

Jika ada kendaraan melintas, ia akan melambaikan tangan sambil menyuruh mendekat.

“Belum keluar semua temen-temenku. Jam 1, jam 2 baru keluar semua. Kalau semua keluar ada 20 orang di sini,” kata CS, waria asal Jakarta yang mengaku baru setahun mangkal di kawasan Renon itu.

Uniknya, para PSK waria yang mangkal di kawasan ini tak punya tempat nyaman untuk melayani tamu.

Menurut CS, kalau ada tamu, ia akan mengajak tamunya ke semak-semak.

“Iya serius di semak-semak aja. Full service. Gak keliatan kok dari luar, orang gelap,” ungkap CS kepada Tribun Bali.

Tarif waria di kawasan Tantular Barat Renon ini hampir mirip dengan di Bung Tomo, yaitu kisaran Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu sekali kencan.

CS rata-rata mendapatkan tamu 5-6 orang per hari.

Tarif Kencan

Seorang waria, SN, mengaku sudah mangkal di Jalan Kusuma Bangsa sejak tahun 2001 silam.

Dirinya mulai keluar pukul 22.00 WITA.

“Biasanya memang sampai dini hari. Keluarnya jam 10 malam aku,” tutur SN mengawali kisahnya kepada Tribun Bali.

Tarif yang ia pasang mulai dari Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu sekali kencan.

Begitu ada tamu yang ingin bercumbu dengannya, SN akan mengajak ke tempat kosannya, yang berada tak jauh dari tempatnya mangkal.

“Kami semuanya ngekos deket-deket sini. Kalau ada tamu ya ajak ke kos,” kata waria berusia 40 tahun ini.

Pada suasana menjelang terbitnya matahari itu, ternyata masih ada sejumlah anak muda yang berseliweran di kawasan tersebut.

Mereka ternyata memang sedang mencari waria.

Seorang anak muda terlihat mendekat ke salah satu waria yang mangkal.

Bincang-bincang sebentar, ia lantas diajak menuju ke tempat kosan.

“Kebanyakan anak muda memang ke sini nyari kami. ABG, dan yang tua juga ada,” kata SN.

Para PSK Waria di kawasan ini setiap hari mangkal sampai pukul 05.00 WITA.

Kehidupan mereka berbalik dari manusia pada umumnya.

“Kalau pagi, siang aku tuh tidur, malam baru kerja dari jam 10 malam keluar sampai subuh dah di sini,” ungkap SN.

SN mengaku dirinya sudah mulai berdandan ala wanita sejak tahun 1995.

Waktu itu, ia mangkal di kawasan Jember, bahkan sempat pula mangkal di kawasan Surabaya.

“Setelah di Surabaya, kembali di Jember, baru di sini (Bali) mulai 2001,” tutur waria yang menyuntikkan silikon pada dadanya ini hingga kelihatan lebih seksi dan menggoda.

Sebelum tahun 2014, jumlah waria yang tiap hari mangkal di kawasan Bung Tomo dan Kusuma Bangsa lebih dari 30 orang.

Namun sejak 2014, satu per satu waria di sana mulai berpindah tempat karena turunnya pelanggan.

“Kalau sekarang cuma 15 orang saja totalnya di sini,” kata SN.

Kisah Mawar

Ilustrasi
Ilustrasi (Kompas.com)

Gek Mawar (28) –bukan nama sebenarnya, menggunakan aplikasi line dan WeChat untuk mendapatkan tamu.

Gek Mawar menulis shemalebo di statusnya sehingga orang bisa langsung tahu bahwa dia transgender.

Walau menurutnya tetap saja ada yang mengira dia perempuan asli.

Khusus untuk pelanggan tetap, biasanya akan langsung menelepon untuk booking.

“Jadi di sana kan bisa lihat people nearby. Dia akan deketin, ngobrol, tanya harga, kalau sudah cocok dan dia mau bayar di awal, langsung saya ajak ke kos,” ungkapnya saat ditemui Tribun Bali pukul 01.30 WITA, Rabu (17/10/2018).

Gek Mawar saat itu mengenakan celana panjang, baju merah mini, dan sandal high heel, serta tas bundar bambu bergambar bunga diselempangkan di pundak kirinya.

Biasanya Mawar datang ke Lapangan Lumintang pada pukul 01.00 hingga 04.00 WITA.

Mawar mengaku tidak pernah pilih-pilih klien, asalkan mereka mau bayar di awal.

Harga yang dipasang Rp 100 ribu.

Apabila kliennya merasa puas, biasanya mereka akan memberikan tipping.

Bayaran termahal yang pernah diterimanya untuk tamu lokal adalah Rp 300 ribu.

Sementara apabila bule, dia bisa dibayar Rp 1 juta.

Dalam sekali mangkal, saat sedang sepi, dia hanya mendapat dua tamu, dan paling ramai bisa lima klien.

“Apalagi kalau hari raya, sepi. Maksimal lima kalau ramai karena sudah kehabisan waktu, kan udah pagi, terang benderang, ga bisalah kerja,” katanya.

Mereka yang menggunakan jasanya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari anak kuliahan hingga om-om.

Bahkan menurut pengakuannya, aparat keamanan juga pernah jadi pelanggannya.

“Rata-rata mereka karena tidak puas dengan istri atau pasangannya. Ada juga yang memang suka transgender. Tapi saya enggak pernah mau anak di bawah umur,” ungkap Mawar, yang sudah sembilan tahun menjadi waria.

Sebelum akhirnya memilih jalan transgender dan dunia malam, Mawar sempat merasakan gejolak batin yang luar biasa.

Meski lahir sebagai laki-laki, namun sejak kecil, Mawar sudah merasa dirinya adalah perempuan.

“Bahkan sejak lahir ya,” ucapnya.

Masa kecilnya dihabiskan bermain dengan kawan-kawan perempuan dan dia telah merasakan ketertarikan dengan laki-laki.

“Ini sama sekali bukan karena saya salah pergaulan atau karena faktor lingkungan. Ini murni dari kecil saya sudah ngerasa perempuan,” terangnya.

Lama dia melawan gejolak batinnya dan tidak berani menunjukkan diri kepada keluarga maupun lingkungan sekitar.

Kerap juga dia sembunyi-sembunyi menggunakan pakaian perempuan, hingga kemudian suatu hari tetangganya memergoki dan melaporkan kepada orang tuanya.

Melihat perilaku Mawar, pernah ayahnya memukulnya dengan sepatu dan membakar semua pakaian-pakaian perempuannya.

Begitu pula dengan ibunya yang terus menerus mempertanyakan apa penyebab anak laki-laki sulungnya itu bisa jadi seperti itu.

Hingga suatu hari akhirnya orang tuanya mengajak dia untuk melukat ke griya.

“Jadi mereka pingin tanya, kenapa sih anaknya bisa jadi kayak gini. Nah pas di sana, aku kira aku yang dimarahin, tapi ternyata Ida Pedanda marah ke orang tua. Katanya kalau aku dikekang terus, bisa bunuh diri. Kebetulan aku memang suka nari dari kecil, jadi katanya biar aku nerusin saja nari,” terangnya.

Orang tua dan saudara-saudaranya akhirnya perlahan mau menerima dia apa adanya, terlebih saat dia sudah mulai bergabung dengan sanggar tari dan rajin ngayah.

Sanggar tari yang diikutinya khusus untuk laki-laki.

Sedang Transaksi Harga, Waria Ditusuk dan Dirampas di Cengkareng

Keluarga Waria Salon Tidak Terima Pelaku Pembunuhan Hanya Divonis 13 Tahun Penjara

Tak Dapat Restu, Acara Pemilihan Miss Waria Banten 2018 Dibatalkan

Apabila sembahyang ke pura umum, Mawar menggunakan pakaian adat perempuan.

Sedang ke pura milik keluarga (merajan), dia memakai pakaian semi laki-laki.

“Ya, karena tidak enak dengan leluhur juga. Jadi para waria di Bali, rata-rata tidak ada juga yang ganti kelamin karena masih takut dan nanti diri kita sendiri yang bingung di sananya. Aku masih percaya dengan leluhur dan tradisi,” terangnya. (TribunBali)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved