Peraturan Dicabut hingga Berdamai, Ini 7 Fakta Kisah Slamet yang Lawan Diskriminasi Agama di Bantul
"Yang terpenting bagi saya, peraturan tersebut sudah dicabut. Jangan sampai ada korban lainnya. Jangan sampai cap intoleransi di DIY semakin tebal."
Slamet mengaku, setelah koleganya mengetahui kasus tersebut, banyak dari mereka menawarkan rumah untuk ditinggali.
Namun, warga asli Semarang, Jawa Tengah, ini masih akan berpikir apakah tetap tinggal ataupun pindah ke lokasi lainnya.
"Tetangga di sini baik semua, bahkan yang tidak kenal, setelah peristiwa ini ramai dibicarakan, menyapa dan jadi mengenal saya," ucap dia.
7. Bupati Bantul angkat bicara terkait intoleransi di Desa Pleret
Bupati Bantul, Suharsono mengatakan, komitmennya untuk tidak ada diskriminasi di wilayahnya.
Menurut dia, perangkat desa pembuat aturan penolakan warga non-Muslim sudah minta maaf.
"Enggak boleh ada larangan," ujar dia.
Aturan yang dikeluarkan oleh warga dusun tersebut dinilainya mencederai NKRI, yang mengedepankan ke-Bhinekaan.
Tidak boleh ada diskriminasi SARA.
Ia memastikan, warga non-Muslim boleh tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, dan Bantul pada umumnya.
"Kalau tak ada dasar hukumnya, (aturan itu) melanggar hukum. Yang penting dirembug. Warga bisa di situ, yang penting tidak mengganggu," ujar dia.
Sementara itu, Kapolres Bantul AKBP Sahat M Hasibuan mengatakan, jika kasus ini sudah selesai, dan peraturan tersebut juga sudah dicabut.
"Aturan itu sudah tidak berlaku dan dicabut. Ke depan saya berharap kita di sini toleransi agama. Saya yakin di Jogja tidak ada intoleransi, semuanya toleransi. Kita lihat di sini tadi menjaga hubungan masyarakat," ucap dia. (Sumber: Markus Yuwono, Penulis: Michael Hangga Wismabrata)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "7 Fakta Kisah Slamet Melawan Diskriminasi Agama di Bantul, Peraturan Dicabut hingga Warga Ingin Hidup Rukun"