Kejengkelan Rocky Gerung soal Kelompok 212 Dianggap Musuh Negara, Pertanyakan Ide Bernegara Presiden

Peneliti Perhimpunan Pendidikan dan Demokrasi (P2D), Rocky Gerung mengomentari mengenai posisi kelompok 212 diantara kubu Jokowi dan Prabowo.

Penulis: Kurniawati Hasjanah | Editor: Muhammad Zulfikar
Tribunnews.com/Vincentius Jyestha  
Rocky Gerung menghadiri sidang lanjutan kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks dengan terdakwa Ratna Sarumpaet di PN Jaksel, Selasa (23/4/2019). 

Rocky Gerung lantas mempertanyakan soal pernyataan Jokowi 'kami memerlukan oposisi' itu berarti memerlukan dikritik atau untuk masuk ke dalam kelompok tersebut.

Calon presiden 01 Joko Widodo dan capres 02 Prabowo Subianto.
 Joko Widodo dan Prabowo Subianto. (Kolase TribunJakarta.com)

"Kenapa diskusi mengenai tema ini terus berlanjut di masyarakat? Karena enggak ada imajinasi sosial yang diucapkan presiden, selain cebong dan kampret yang udah selesai.

Ide tentang bernegara tak diucapkannya dan ia hanya mengucapkan prestasi yang diraihnya selama 5 tahun memimpin," aku Rocky Gerung.

Bahkan, Rocky Gerung menyatakan Jokowi kurang paham soal kemenangan yang harus difungsikan bentuk baru dari social tags. 

Shafa Fadli Raih Summa Cum Laude saat Kuliah di London, Reaksi Yunarto Wijaya Tuai Sorotan

Gibran Rakabuming Ungkap Cara Bisnisnya Bertahan, Putra Jokowi Sebut Cuma Karyawan yang Stres

"Nah itu yang menyebabkan kita jengkel, kamera menyorot nasi goreng dan Gondangdia tetapi apa maknanya?" beber Rocky Gerung.

Rocky Gerung menilai, pertemuan antar tokoh politik beberapa waktu belakangan lebih membahas mengenai reshuffle kabinet namun diseludupkan seolah-olah masalah bangsa di 2024.

Rocky Gerung
Rocky Gerung (Istimewa)

"Padahal 2024 itu masih jauh dan perdebatan ini selesai ketika minggu depan ada krisis ekonomi," ungkap Rocky Gerung.

Lebih lanjut Rocky Gerung menuturkan, kelompok 212 itu bak nutrisi dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

"Ini kekacauan kita seolah-olah Pancasila hanya dimonopoli dengan satu tipe politik yaitu Teuku Umar. Kenapa Ketua BPIP harus Megawati Soekarnoputri? Karena dia anaknya Soekarno, justru karena beliau anak Soekarno ya sudah selesai. Kalau mau majemuk, kenapa bukan Mardani Ali?

Jadi mengangkat Ketua BPIP itu mengartikan Presiden tak mengerti kemajemukan," imbuh Rocky Gerung.

Lolos Seleksi Mandiri UPN Veteran Yogyakarta? Segera Cek Jadwal Daftar Ulang & Besaran Uang Kuliah

Gagal UTUL UGM? Yuk Coba Sekolah Vokasi UGM, Simak Syarat & Panduan Pendaftarannya!

Viral Bocah SMP di Tangerang Jualan Nasi Uduk Pukul 4 Subuh Pagi Demi Bantu Orang Tua

Rocky Gerung mengemukakan, Presiden saat ini bukanlah otonom sehingga tak mungkin eksekusi kebijakannya sendiri.

Pengamat politik itu juga menjelaskan makna di balik pertemuan di Gondangdia dan Teuku Umar yang berarti material dan tak bisa disembunyikan.

"Kita diharuskan menganalisa sesuatu yang sebenarnya telah terang benderang bahwa hal tersebut mengartikan ambisi kursi dengan segala macam pengandaian. Kenapa? karena Oktober masih lama, kongres Golkar dan Gerindra masih lama.

Jadi untuk mendahului agenda formal maka diadakan pertemuan semacam tersebut," aku Rocky Gerung.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved