Kontroversi Anggaran DKI Jakarta
William Aditya Sarana, Jatuh Cinta di Politik Sejak SMA Tapi Sempat Ditolak Keluarga saat Jadi Caleg
Dengan berbagai pengalamannya tersebut, membawa William terlibat di dunia politik praktis, khususnya terjun menjadi caleg.
Penulis: Kurniawati Hasjanah | Editor: Muji Lestari
TRIBUNJAKARTA.COM - Sosok politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) William Aditya Sarana mencuri perhatian publik dengan aksinya mengkritisi anggaran di rancangan Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta.
William Aditya Sarana mempertanyakan anggaran lem aibon dan ballpoint yang ada di KUA PPAS 2020 DKI Jakarta tersebut.
Menurut William Aditya Sarana, itu baru sebagian dari mata anggaran yang menjadi tanda tanya. PSI akan menyisir anggaran dan mempertanyakannya satu per satu.
"Kami sudah ikuti rapat Komisi beberapa hari ini dan tiap kali diminta buka detail anggaran, Pemprov selalu mengelak. Apa yang perlu disembunyikan? Saya mau tahu yang mengusulkan siapa dan alasannya apa nilai-nilai yang diajukan fantastis sekali. Jangan sampai DPRD hanya jadi tukang stempel gubernur," tutur William Aditya Sarana.
William Aditya Sarana lebih lanjut menduga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak mengetahui dan memahami isi anggaran kegiatan-kegiatan tersebut.
• Berawal dari Minta Antar Pulang, Siswi SMA Dianiya & Diperkosa Pacar: Korban Lemas Tak Berdaya
William Aditya Sarana khawatir belakangan anggaran itu kembali disebut salah input.
Aksi William Aditya Sarana yang terkesan berani itu lantas menjadi sorotan.
Lantas bagaimana kisah William Aditya Sarana yang masih muda bisa terjun ke dunia politik?
Diceritakan William Aditya Sarana, ia mengaku telah jatuh cinta dengan dunia politik sejak SMA.
William Aditya Sarana yang saat itu bersekolah di SMA Dian Harapan, memutuskan untuk bergabung sebagai OSIS.
Selepas SMA, minat William Aditya Sarana terhadap dunia politik kian tersalurkan.
William Aditya Sarana tercatat dua kali magang di lembaga pemerintahan yakni Sekretariat Kabinet (2017) dan Mahkamah Konstitusi (2015).
Bahkan, William Aditya Sarana juga menjadi anggota kongres mahasiswa UI dan juga ketua mahkamah mahasiswa UI.
Dengan berbagai pengalamannya tersebut, membawa William terlibat di dunia politik praktis, khususnya terjun menjadi caleg.
Hal itu dilakukan karena William merasa bahwa anggota DPRD DKI di periode sebelumnya cukup "buruk".
• Isu Video Syur Mirip Nagita Slavina, Raffi Ahmad Emosi Istrinya Diganggu: Saya Tak Akan Diam!
• William Aditya Sarana, Politisi Muda Kritisi Anggaran Fantastis di DKI, Punya Rekam Jejak Mentereng
Satu diantara alasannya yakni karena tak ada anggota yang melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Selain wakil rakyat, menurut dia, Jakarta saat ini memiliki Gubernur dengan kinerja yang belum baik.
"Anggota DPRD sebelumnya yang paling buruk. Anggotanya enggak ada yang lapor LHKPN bahkan wakil ketua KPK bilang jangan pilih petahana ditambah kita sekarang punya Gubernur Anies yang menurut saya bisa jadi Gubernur terburuk sepanjang DKI Jakarta. Nah kombinasi ini yang membuat saya mau terjun langsung ke politik praktis," tegas William Aditya Sarana.
Ia merasa jika hanya menjadi advokat sesuai jurusannya tak akan melakukan perubahan yang cepat untuk kepentingan masyarakat
"Kita harus terjun langsung kita kawal kebijakannya," aku William Aditya Sarana.
Sempat Ditolak Keluarga
Keputusan William Aditya Sarana yang terjun ke politik praktis di usia muda rupanya sempat ditolak keluarga.
Penolakan tersebut karena adanya anggapan bahwa politik itu "kotor".
"Yang kaget dan sempat menolak sebenarnya keluarga saya. Karena dianggap terlalu muda dan politik kotor. Keluarga awalnya enggak mendukung. Mereka (mulai) menerima ketika dapat nomor urut, karena kita rangkaiannya kan panjang sampai dapat nomor urut. Kalau pas seleksi kan kurang setuju," tutur William Aditya Sarana.
Sang ayah yang seorang advokat ingin agar William mengikuti jejaknya. Apalagi William sendiri juga memiliki latar belakang pendidikan hukum.
"Ayah saya advokat jadi mungkin ekspektasi ke saya juga jadi advokat. Tapi menurut saya politik lebih penting sih dalam kondisi bangsa seperti ini karena kita kekurangan politisi baik," tutur William. (tribunjakarta/kompas)