Sisi Lain Metropolitan
Kisah Bolot Jadi Badut Mampang di Cibubur: Dulu Berkecukupan, Kini Cari Uang Buat Pemakaman Dirinya
Makroni merupakan bapak satu anak asal Cirebon yang biasa disapa Pak Bolot. Ia menjalani hari-harinya menjadi badut mampang.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
"Anak saya cuma satu. Saya enggak mau minta uang sama dia. Saya masih kuat cari uang sendiri," jelasnya.
Akhirnya, lampu merah Cibubur menjadi pilihannya untuk menghindari razia satgas P3S.
"Setelah pindah ya jarang masuk dinsos. Cuma waktu itu kena lagi 2 kali pas sudah di sini. Yang pertama kepala badutnya masih saya ambil, yang kedua saya biarkan aja, malu saya. Soalnya kalau dihitung saya sudah 11 kali ketangkep petugas semenjak jadi badut mampang," katanya.
Kendati demikian, Makroni menikmati tiap proses kehidupan yang dijalananinya.
Kata alhamdulillah selalu keluar dari mulutnya meskipun penghasilannya tak pernah menentu.
"Tapi alhamdulillah penghasilan di sini cukup untuk makan. Paling banyak saya dapat Rp 100 ribu," katanya.
Selama ini, uang Rp 100 ribu bukanlah nominal yang kecil dan juga besar baginya.
Berapapun rezeki yang di dapatnya, ia hanya menggunakan uang tersebut untuk membeli makan dan membayar kontrakan.
Menariknya, uang tersebut juga ia kumpulkan untuk masa depannya alias kehidupan akhirnya.
"Enggak banyak orang yang tahu. Saya ini enggak pernah mikirin dunia, enggak pernah mikirin harta. Usia saya ini sudah mengharuskan saya memikirkan akhirat,"
"Selama ini uang yang saya dapat saya cicil untuk beli kain kafan, tikar pandan, liang lahat di kampung dan sisanya untuk acara selepas kematian saya. Sebab untuk 3 hari atau berapa harinya saya juga pakai uang. Nanti kalau ada sisanya untuk saudara saya di kampung," ungkapnya sambil menangis.
Tak bisa mendengar

Panggilan Pak Bolot sebenarnya baru di dapatnya ketika menjadi badut mampang di lampu merah Cibubur.
Panggilan tersebut tak serta merta begitu saja di dapatnya.
Menurutnya panggilan tersebut bermula ketika siapa pun yang menghampirinya harus berbicara menggunakan tulisan.