Sisi Lain Metropolitan
Potret Manusia Gerobak Musiman di Pinggiran Jakarta, Pilih Ngemper Sore Demi Sembako
Manusia gerobak memilih keluar siang sampai sore, lalu mengemper di pinggir jalan. Mereka tak cari rongsok, tapi berharap dapat sembako dari pelintas.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Y Gustaman
"Saya bingung mau kerja apalagi. Akhirnya merantau aja mumpung waktu itu masih bujangan," kenang Tatang.
Sebelum ke Jakarta, Tatang melenggang ke Tangerang menjadi pekerja konveksi.
Kala itu, Tatang mendapatkan gaji Rp 300 ribu per minggu.
Jika dihitung-hitung, gaji sebesar itu masih lebih baik ketimbang hidup menggelandang sebagai manusia gerobak.
• Sederet Kasus Pencurian Kotak Amal di Jakarta Saat PSBB, Marbut Masjid Diminta Waspada
"Alhamdulillah dapat dan borongan begitu sistemnya. Lumayan seminggu dapat Rp 300 ribu," lanjutnya.
Sayangnya, beberapa tahun kemudian konveksi tersebut tutup dan pindah.
Ia pun memutuskan kembali ke Karawangan sambil melamar pekerjaan di sana-sini.
"Akhirnya dapat kerja di pabrik pembuatan tabung gas. Tapi ya gitu, itu juga enggak lama."
"Jadi asal belum lama kerja, pabriknya tutup, padahal saya sudah nikah dan punya anak," ungkapnya.
Tatang sempat menganggur dan mengandalkan hidup dari hasil gaji istrinya, Enung (30).
Enung sempat menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi dari 2009.
"Gajinya waktu itu sekira Rp 1,2 juta."
"Saya cukupi saja karena waktu itu anak saya masih satu si Ikbal saja," sambung Tatang.
Pada 2014, Enung kembali ke tanah air dan ingin fokus mengurus anak.
• Viral Warga Cimahi Gantungkan Sayuran di Pagar, Cara Unik Bantu Sesama di Tengah Pandemi Corona
Tatang harus berpikir keras untuk mendapatkan pekerjaan lalu kembali merantau ke Tangerang.