Sisi Lain Metropolitan
Potret Manusia Gerobak Musiman di Pinggiran Jakarta, Pilih Ngemper Sore Demi Sembako
Manusia gerobak memilih keluar siang sampai sore, lalu mengemper di pinggir jalan. Mereka tak cari rongsok, tapi berharap dapat sembako dari pelintas.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Y Gustaman
"Dapat kerja jahit tapi di konveksi rumahan. Di situ lumayan lama dari 2014 sampai 2016," katanya.
Merasa upah yang diterimanya terlalu minim, Tatang menerima ajakan Edi, kakak iparnya, menjadi manusia gerobak.
"Saya cerita sama saudara saya, penghasilan kecil sementara anak nambah lagi, ada Ikbal sama Alin."
"Nah dari situ kakak ipar saya nawarin jadi manusia gerobak," katanya.
Mulanya, Tatang tak mengerti apa itu manusia gerobak.
Perlahan ia paham, menjadi manusia gerobak berarti harus memulung barang bekas pakai gerobak.
"Bagusnya enggak tidur di situ, kita disiapin bedeng, semacam rumah ala kadarnya dari pengepul," ungkapnya.
Tawaran tersebut pun Tatang ambil dan sejak 2017 memutuskan memboyong keluarganya ke Kota Bekasi.
Sekarang, manusia gerobak sudah jarang tidur di gerobaknya karena rata-rata sudah disediakan bedeng oleh pengepul atau bosnya.
• KABAR BAIK: Refund Tiket Bisa Diambil dalam 3 Hari via KAI Access, Begini Cara Mudah Registrasinya!
"Meski enggak bagus tapi masih bisa buat tidur. Jadi wajar aja makin banyak jumlahnya tiap tahun," jelas dia.
Awal-awal Tatang malu tapi dengan menjadi manusia gerobak bisa mencari uang lebih.

"Biar kata di awal pasti malu karena jadi pemulung atau disebut orang manusia gerobak," jelasnya.
Selama di Bekasi, untuk membantu ekonomi keluarga, Enung menjadi buruh cuci.
Tiap bulan ia mendapat upah sebesar Rp 700 ribu.
Sayangnya, sejak wabah Covid-19, ia tak menerima gaji full karena bekerja hanya sampai siang.
Ia kehilangan pekerjaan karena banyak pemilik rumah tak lagi menggunakan jasanya dengan alasan mencegah penularan Covid-19.
Di luar sana masih banyak manusia gerobak lain yang senasib dengan Tatang.